56 : Prepare

17.7K 2.5K 182
                                    

Om Taeyong membuat moodku naik. Benar-benar naik 100%. Memang sulit sekali ingin marah pada pria itu, selalu saja ada godaanya.

Setelah mengajakku makan malam, pria itu benar-benar mengajakku pergi ke toko perhiasan. Katanya sih, untuk membeli cincin pernikahan. Jadi, kami benar-benar akan menikah?

"Yang mana, Ji?" tanya Om Taeyong yang tadinya menghilang, tapi tiba-tiba kembali ke sampingku.

"Aku bingung," jawabku. "Om aja yang pilih."

Om Taeyong mendelik malas, lalu berjongkok untuk melihat cincin-cincin yang berada di dalam kotak. "Jangan protes kalau nggak sesuai selera kamu."

Aku mendengus kecil, lalu ikut berjongkok di sebelah Om Taeyong. Aku mengedarkan mata dari hulu sampai hilir box kaca yang di dalamnya ada puluhan mungkin sampai ratusan cincin untuk pasangan. "Yang ini lucu, Om," kataku.

Aku menunjuk salah satu cincin dengan model sederhana namun terlihat elegan.

Om Taeyong melirik ke arahku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Om Taeyong melirik ke arahku. "Ya udah. Yang itu aja."

"Aku kan cuma ngasih saran," protesku. "Om yang pilih."

"Iya, aku pilih yang itu. Bagus kok!" Om Taeyong beranjak, lalu memanggil pramuniaga untuk mengemas cincin yang kami pilih. Mungkin lebih tepatnya, aku yang pilih. Om Taeyong sepertinya tidak hebat dalam memilih sesuatu. Mungkin cincin yang kemarin diberi padaku, Om Taeyong meminta bantuan Mark untuk memilihnya.

Dan yang selanjutnya, kami pergi ke sebuah butik.

Tidak diragukan lagi sebenarnya kemapanan Om Taeyong untuk menikah. Karena ini sama sekali tidak direncanakan, aku sama sekali tidak bawa uang banyak. Tapi lain lagi dengan Om Taeyong. Ia tanpa ragu membuka dompetnya, lalu memberi kartu. Dan rasanya tidak adil juga yang Om Taeyong yang bayar semua. Ini kan untuk kami berdua.

"Om," panggilku.

Om Taeyong berbalik dengan sebelah alis terangkat. Mungkin artinya, apa? Wah, sudah cukup lama aku bersama Om Taeyong dan aku sudah mulai mahir memahami bahasa tubuhnya.

"Itu," aku berucap ragu. "Aku nggak enak. Masa semua Om yang bayar?"

Om Taeyong tertawa kecil. "Bukan aku," katanya. "Kartu punya papa."

Aku mengernyit bingung.

"Tadi waktu kamu keluar rumah, papa keluar kamarnya. Tiba-tiba ngasih kartu, katanya buat persiapan nikah. Jadi, nggak usah dipikirin."

Aku tersenyum kecil. Walau diminta untuk tidak dipikirkan, tetap saja masih kupikirkan. Biaya pernikahan itu tidak main-main. Dan ya—mungkin aku bisa bantu sedikit dari sisa tabungan papa.

"Ayo," ajak Om Taeyong. Pria itu menggandeng tanganku, sementara sebelah tangannya membawa beberapa buat tas jinjing hasil belanjaan kami. "Jalan aja ya, nggak usah naik mobil. Biar romantis."

[2] Marriage | Lee Taeyong ✔️  [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang