02 : Prospecting

51.6K 5.9K 291
                                    

Huang Jian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Huang Jian

Siang ini, aku kembali mengunjungi kediaman Mark. Aku, Mark, dan satu temannya, kalau nggak salah namanya Jeno, akan pergi mencari Renjun. Aku nggak tau dengan pasti Renjun pergi kemana, tapi firasatku bilang kalau Renjun pergi ke rumah nenek kami di pinggiran kota. Jadi, hari ini kami akan pergi kesana, naik mobil milik Jeno.

Aku berdiri tegap di depan pintu cokelat gelap rumah Mark. Pintunya besar dan menjulang tinggi, seperti di film–film. Temennya Renjun orang kaya ternyata. Aku mengetuk pintu dengan keras dan berkali–kali. Kata temenku, Lalisa, kalau kamu berkunjung ke rumah yang kelihatan seperti istana, kamu harus mengetuknya dengan keras dan berkali–kali. Biar ketukanmu sampai ke telinga si pemilik rumah dan pintu cepat dibukakan. Seperti kemarin—

“ASTAGA!” aku memekik karena kaget. Om–om yang kemarin muncul dengan raut wajah yang terlihat kesal. Dia menatapku.

“Nggak bisa ya sabar sebentar? Saya jalan dari kamar sampai kesini itu butuh waktu!” omelnya. Aku nyengir, nggak tau harus bilang apa. “Dan satu lagi, pintu rumah saya bisa–bisa ambruk kalau kamu ketuk secara brutal kayak tadi. Heran!”

“Maaf, om. Biar cepet dibukain,” kataku. Aku menyondongkan badanku ke depan untuk melihat nametag yang tertempel di jas kerja om ini, aku mau tau namanya. Tapi sepertinya dia salah tanggap, dia mengira aku akan menciumnya. Hih, dasar mesum!

“Jangan dekat–dekat! Kamu mau apa, ha?!”

“Ya ampun, santai bisa kali om!” aku merengut kesal. Dia kasar. “Aku cuma mau baca nama om di nametagnya!”

Om Taeyong, dia hanya mendelik. Dia langsung masuk ke dalam rumahnya, seperti kemarin. Aku mengikuti dari belakang, lalu duduk di sofa. Ah, aku datang terlalu cepat, Mark belum pulang sekolah rupanya. Om Taeyong datang dari dapur, membawakanku segelas air putih. Heran, dia kan orang kaya? Tapi kenapa suguhannya hanya air putih? Yang lebih berkelas kan bisa, sirup atau jus mungkin? Haha.

“Makasih om!”

Aku langsung meneguk sepertiganya. Jujur saja, aku haus.

“Kamu haus apa doyan air putih sih?”

“Aku haus. Dari rumah aku lari–lari kesini. Dompetku ketinggalan dan baru sadar pas udah sampe halte. Mau balik, cuma takut kesiangan sampe sininya. Ya udah, aku lari–lari aja, sekalian olahraga,” jelasku panjang lebar.

Om Taeyong menggelengkan kepalanya.
“Ya ampun, kamu itu serangga jenis apa sih? Saya heran sama pemikiran kamu yang diluar akal manusia itu.”

Aku mengerucutkan bibirku, kesal. Dia bilang aku serangga? Cih, mana ada serangga secantik dan seseksi aku?

“Mark mana sih? Kok lama?” gumamku sesekali melirik jam tangan. “Om, ada permen nggak? Mulutku pahit, pengen yang manis–manis.”

Setelah menghela nafas, Om Taeyong beranjak dari kursinya, lalu kembali dengan setoples penuh permen warna–warni. Wah, kesukaanku!!!

“Makasih om!”

“Sampahnya jangan dibuang di sembarang tempat!” katanya, tepat saat aku meletakkan bungkus permen di sebelahku.

“Iya, iya. Aku kumpulin dulu disini, nanti aku buang sekalian.”

Nggak lama, pintu rumah terbuka dan munculah Mark dan Jeno. “Eh? Kak Jian udah sampe. Ya udah, mau berangkat sekarang aja?” tawar Mark.

“Ayo!” aku beranjak dari sofa. “Siapa yang bawa mobil?”

Jeno tiba–tiba berjalan ke arahku, lalu menyerahkan kunci mobil. “Gue sama Mark belum ada SIM. Kak Jian aja ya yang nyetir,” katanya.

Aku otomatis cengo. Kalau kalian mau aku yang menyetir, siap–siap saja keluarkan tunjangan keselamatan.

“Ah, a–aku pernah les privat mobil, tapi itu udah lama. T–tapi aku bisa kok, doain aja ingatanku waktu belajar mobil balik. Ayo!”

Aku bicara dengan yakin, tapi sebenarnya aku gemetar bukan main.

“Cari mati!” seseorang menarik tanganku, lalu merebut paksa kunci mobil milik Jeno. “Sini, saya aja!”

Ugh, Om Taeyong superheroku!




























Aku hanya bisa mendengus mendengar gerutuan orang yang duduk di sebelahku. Om Taeyong, daritadi dia terus menggerutu karena jalan menuju rumah nenekku sangat sempit dan keadaannya buruk. Mobil yang kami duduki terus berguncang. Berbeda dengan keadaan jok depan yang bising karena rutukan Om Taeyong, suasana jok belakang sangat hening. Mark dan Jeno, mereka tidur, karena ya— jaraknya cukup jauh. Kalau nggak harus nunjukin jalan ke Om Taeyong, akupun mungkin sudah berkeliaran bersama Mark dan Jeno di dunia mimpi.

“Belok kanan yang terakhir om,” kataku.

“Lihat alamatnya yang benar! Daritadi kamu bilang ini belokan yang terakhir tapi kita nggak sampai–sampai. Gimana sih?!”

Aku menggigit bibir bawahku, lalu menunduk. “Ma–af, om. Aku sebenernya agak lupa, udah lama nggak ke rumah nenek. Tapi firasatku bilang, ini yang belok kanan terakhir. Aku yakin!”

“Argh, terserahlah!”

“Nah, nah! Itu dia! Itu om, yang diujung! Om, disini aja parkirnya, susah. Aku jalan aja nggakpapa,” kataku dan langsung turun dari mobil.

Aku berjalan agak cepat. Sampai di depan halamam rumah nenek, aku tidak langsung mengetuk pintunya. Aku berdiri mematung, nafasku tiba–tiba menderu. Aku takut, takut kalau Renjun nggak ada disini. Ugh, cobalah berfikir positif, Jian!

Tok! Tok! Tok!

Aku mengetuk pintu dengan pelan, tidak seperti saat mengetuk pintu rumah Mark. Beda lagi kalau aku mengetuk pintu rumah ini dengan kencang, yang ada rumah nenekku rubuh.

“Lho? Jian? Tumben datang kesini. Ada apa?”

Sebelumnya, aku memelukku nenekku dulu. “Uhm— aku, aku cari Renjun nek. Dia ada disini?”

“Renjun nggak pulang? Kemarin memang dia habis dari rumah nenek, tapi sorenya dia pulang.”

“D–dia nggak pulang nek, udah dua hari.

Air mataku langsung meluncur bebas. Ataga Renjun, kemana lagi aku harus cari kamu?

Kamu dimana sih?

✨✨✨

[2] Marriage | Lee Taeyong ✔️  [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang