15 : Misunderstanding

29.1K 3.9K 174
                                    

Keesokan harinya, akhirnya aku diperbolehkan pulang ke rumah. Dengan ditemani Om Taeyong dan Renjun, aku meninggalkan rumah sakit dan menuju rumah. Om Taeyong yang mengantarku dan Renjun ke rumah. Sebenarnya Om Taeyong harus bekerja hari ini, tapi dia bersikukuh ingin mengantarku dengan selamat sampai rumah. Dia memang sedikit keras kepala.

“Pintunya di kunci, ce,” kata Renjun yang barusan membuka pintu rumah.

Aku mengernyit pelan, berusaha mengingat dimana aku menyimpan kunci pintu saat terakhir kali. “Aku simpen di pot bunga yang besar itu. Coba liat, ada nggak?”

Renjun menuju pot bunga besar yang kutunjuk, lalu sedikit mengorek tanahnya. Dia tersenyum, lalu mengangkat tangannya yang kini memegang kunci rumah.

Kalau kunci rumah masih ada di tempat terakhir kali kusimpan, berarti sampai saat ini papa belum pulang ke rumah.

“Ayo masuk,” ajak Renjun.

Om Taeyong mengangguk, lalu membantu memapahku berjalan ke dalam rumah. Baru satu langkah Renjun masuk, dia langsung berhenti. Matanya membulat penuh, melihat keadaan isi rumah yang sangat berantakan, masih sama seperti waktu itu.

Sama halnya dengan Renjun, Om Taeyong pun membelalakkan matanya. Dia berjongkok, meraih serpihan kaca yang berserakan di lantai.

“Kamu—”

“Nggak,” potongku. Aku takut Om Taeyong dan Renjun salah paham. “Ini emang kelakuan papa. Tapi dia sama sekali nggak ngelukain aku pakai benda tajam.”

“Tapi kenapa bisa sekacau ini?” tanya Renjun. “Kenapa semuanya pecah? Cece nyembunyiin sesuatu dari aku? Papa ngelakuin apa lagi selain mukulin cece, ha?!”

“Nggak, Renjun,” kataku. “Aku sendiri nggak tau apa yang papa lakuin sehabis mukulin aku. Aku nggak sadar dan setelah bangun semua udah kacau kayak gini.”

“Kamu nggak bohong, kan?” tanya Om Taeyong.

Aku mengangguk.

“Ya udah,” kata Om Taeyong. “Jun, anterin Jian ke kamarnya, istirahat ya. Ini biar saya yang—”

“Om!” potongku. “Nggak usah, aku nggak mau ngerepotin Om. Om kan harus kerja hari ini.”

“Iya, Bang. Bang Taeyong mending ke kantor aja. Urusan ini biar gue yang urus,” kata Renjun.

Om Taeyong menghela nafas, lalu mengangguk. Ugh, akhirnya dia mengalah juga. Sebelum pergi, Om Taeyong sempat–sempatnya memelukku dulu. Parahnya, dia memelukku di depan Renjun.

“Kalau ada apa–apa telepon aja,” katanya. “Kalau nggak aktif, telepon Mark. Ya?”

Aku mengangguk.

Sepeninggalan Om Taeyong, Renjun menatapku dengan tatapan penuh tanya. “Cece sama abangnya Mark...” katanya, sedikit menggantung, seolah memintaku melengkapinya.

“Apa?” tanyaku.

“Kalian—” Renjun menatapku dengan senyuman jahil. “Punya hubungan khusus?”

Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, menghindarili kontak mata langsung dengan Renjun. “Apa sih?” protesku.

Renjun tertawa. “Tuh, kan, pipinya merah tuh!” godanya. “Kalaupun bener ya nggak apa–apa sih, biar cece ada yang lindungin.”

“Ish,” cibirku. “Udah ah, aku mau ke kamar dulu. Hati–hati beresinnya, pake sarung tangan biar nggak kena serpihan kaca.”

“Aye–aye, kapten!” seru Renjun sambil menghormat kepadaku. “Selamay istirahat~”

[2] Marriage | Lee Taeyong ✔️  [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang