16 : Coincidental

26.7K 3.9K 204
                                    

“Ekhem!”

Om Taeyong?????!

Daniel melirik ke arah pandanganku mengarah sekarang. Dia sedikit menggeser tubuhnya, lalu menggaruk tengkuk salah tingkah. “Eh, a–ada tamu,” katanya.

Om Taeyong tersenyum simpul, lalu melambaikan tangannya—memintaku menghampirinya. Aku bangkit dari dudukku, lalu berjalan ke arah Om Taeyong berada. Kami ada di pelataran rumahku, sengaja Om Taeyong membawaku kesini agar Daniel nggak menguping.

“Kamu nggak apa–apa?” tanya Om Taeyong.

Aku menggelengkan kepala.

“Katanya Renjun tadi, ada preman. Apa dia yang tadi duduk di samping kamu itu?” Om Taeyong bertanya lagi.

“Iya,” jawabku. “Ternyata itu temen kampus aku Om, Daniel.”

Om Taeyong manggut–manggut. “Ya udah. Kalau kamu nggak apa–apa, saya pergi lagi ya.”

Om Taeyong membalikkan badannya, tapi tangan kanannya kutarik. Dia berbalik lagi, menghadapku. “Kenapa?” tanya Om Taeyong, menatapku dengan raut heran.

“Om,” panggilku. “Yang tadi, maksud aku, uhm, Om liat Daniel, eh aku, itu nggak, apa—”

Om Taeyong tertawa, lalu mengacak rambutku. “Apa sih?”

“Itu, aku— Om nggak marah kan?” tanyaku.

Om Taeyong kelihatannya kebingungan. Dia diam sebentar, lalu menatapku lagi. “Maksud kamu, kamu nanya saya marah atau nggak liat perlakuan temen kamu barusan ke kamu?”

Aku mengangguk pelan.

“Nggak kok,” kata Om Taeyong. “Saya bukan remaja labil yang ngambek cuma gara–gara pacarnya berduaan sama temen lawan jenisnya. Saya nggak pantes kayak gitu. Lagipula, saya percaya sama kamu.”

Bukan lagi meleleh, aku dibuat melebur mendengar penuturan manis Om Taeyong.

✨✨✨

“Hati–hati, Niel, Jin!” kataku sambil melambaikan tangan ke arah mereka yang sudah agak jauh.

“Besok ngampus ya!” teriakan Ryujin terdengar melengking sekaligus samar–samar.

Aku mengangguk pelan, walau Ryujin mungkin nggak bisa melihat anggukan kepalaku. Setelah mengantar Ryujin dan Daniel sampai depan, aku kembali masuk ke dalam rumah. Renjun yang baru saja keluar dari kamarnya duduk di sofa ruang tengah, lalu memainkan ponselnya. Aku ikut duduk di sebelah Renjun, lalu memainkan ponselku juga.

Ce, laper nggak?” tanya Renjun. Wah, tumben!

“Laper,” jawabku.

“Mau makan diluar?” Renjun bertanya lagi. “Hari ini aku yang traktir!”

Aku melirik Renjun yang bersemangat. “Serius? Uang darimana?”

Renjun tersenyum, lalu mengeluarkan dompetnya. Aku dibuat menganga melihat isi dompet Renjun yang nggak seperti biasanya, kali ini lebih berisi. “Aku habis ngambil uang dari bank. Waktu tinggal di kost, aku pernah collab bikin konten youtube sama Winwin–ge. Subscribers aku jadi naik, terus ya hasilnya jadi lumayan!”

Aku tersenyum, bangga. Untungnya, aku punya adik seperti Renjun.

“Oke, ayo!”

Aku beranjak dari sofa, mengambil jaket sekaligus masker untuk menutupi lebam–lebam yang masih sedikit terlihat  di wajahku ini. Setelah itu, aku mengikuti Renjun pergi keluar.

“Ayo, ce!” kata Renjun, sambil menepuk jok bagian belakang motornya.

Aku mengangguk, lalu duduk di belakang Renjun. Sudah lama aku dan Renjun nggak berpergian bersama seperti ini. Waktu itu, kami saling sibuk. Renjun sibuk dengan sekolahnya dan aku sibuk dengan kuliahku. Di tambah waktu itu Renjun kabur dari rumah, membuat aku dan Renjun semakin renggang.

“Makan dimana, Jun?” tanyaku.

“Aku ada satu tempat,” kata Renjun. “Udah langganan, tempat biasa ngopi sama temen–temen.” Jelas Renjun.

Aku manggut–manggut, lalu mengeratkan peganganku di jaket yang Renjun pakai. Kurang lebih menempuh waktu selama dua puluh menit, kami akhirnya sampai. Renjun memarkirkan motornya di depan sebuah cafe yang cukup besar namun minimalis. Lelaki itu masuk duluan, disusul aku di belakangnya.

Ce, cari tepat duduk aja, aku yang pesen,” kata Renjun. “Makanan kesukaan cece ya? Pesennya sebentar kok!”

Aku mengangguk, mengindahkan ucapan Renjun. Aku mengedarkan pandangan, mencari tempat untuk duduk. Cafe ini sepertinya laris, terlihat dari tempat duduk disini yang hampir terisi semua, kecuali satu di ujung sana. Baru aku hendak berjalan, mataku menangkap sosok yang familier. Aku memicingkan mata, meyakinkan diri kalau seseorang yang kulihat itu benar–benar orang yang aku kenal. Benar, itu Mark. Bersama seorang gadis? Astaga, dia punya pacar ternyata!

Yah, sebenarnya bukan urusanku, sih. Tapi melihat gadis di hadapan Mark pergi begitu saja, rasa keinginantahuanku semakin membuncah. Kuputuskan untuk menghampiri Mark yang sedang mengacak rambutnya frustasi.

Aku berdiri di samping Mark, lalu sedikit mencondongkan tubuhku untuk melihat wajah Mark.

Mark sedikit terlonjak saat dirinya mendongak dan mendapatiku disana. “Kak Jian?!” pekiknya.

Aku tersenyum sambil mengangguk.

“Kok disini?” tanya Mark sambil mengedarkan pandangan, seperti mencari seseorang. “Sama Bang Taeyong?”

“Nggak, kok!” kataku. “Kenapa? Takut ya ketauan Om Taeyong habis ditolak cewek?” godaku, lalu tertawa.

“Apasih?!” tanyanya dengan sdikit penekanan. “Sini duduk!”

Aku mengangguk, lalu duduk di hadapan Mark. Mark kembali celingukan, seperti mencari seseorang. Dia menatapku lalu berujar. “Serius, Kak Jian sama siapa kesini? Sendirian?”

“Nggak sendiri. Sama Renjun, dia lagi pesen,” kataku. “Nah itu dia— RENJUN!”

“Ish!” desis Mark. “Teriak–teriak, dipikir rumah sendiri apa?!”

Aku hanya menyunggingkan senyum, lalu kembali melambaikan tangan ke arah Renjun yang sedang berjalan ke arah kami. Renjun duduk di sebelahku, lalu terheran–heran melihat Mark ada disini.

“Loh?” herannya. “Sama siapa Mark?”

“Sama cewek,” jawabku, sambil tertawa. “Tapi ditolak, jadi ceweknya pergi.”

Mark menatapku tajam, lalu beralih menatap Renjun. “Bohong. Jangan dengerin!”

“Aku liat sendiri loh, Jun,” kataku. “Dia ditolak cewek!”

Renjun manggut–manggut, lalu tersenyum menggoda di depan Mark. “Oh, Herin ya?”

Renjun tertawa. Sementara Mark, dia terlihat mendumel kesal.

Jadi, siapa Herin?

✨✨✨

[2] Marriage | Lee Taeyong ✔️  [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang