19 : No Matter What

26.4K 3.9K 240
                                    

Suara decitan sesuatu membuat tidurku berakhir. Aku membuka mata perlahan, disambut sinar matahari yang samar–samar menembus jendela kamar. Eh? Ini bukan kamarku? Terlalu mewah untuk ukuran kamarku. Aku beranjak dari posisi awalku,  menyandarkan kepala di sandaran kasur. Mataku langsung membelalak dan aku langsung menghambur ke selimut saat melihat sebuah objek yang berdiri beberapa meter dari ranjang yang kududuki saat ini. Itu...

Om Taeyong yang hanya memakai handuk untuk menutupi bagian privasinya saja.

“Heh?!” pekikku, lumayan keras. “Gila ya?! Mau ngotorin mata suci aku? Om ngapain?!”

“Habis mandi,” jawab Om Taeyong. Jangan lupakan nada bicaranya yang super santai.

“Ya maksudnya ngapain berdiri disana? Mana handukan doang lagi!” kataku. “Nggak malu?!”

“Ya ini mau pake baju,” balas Om Taeyong.

“Ya ngapain di depan aku? Di kamar mandi bisa kan?!”

“Siapa juga,” kata Om Taeyong. “Saya mau ngambil baju, pakenya ya di dalem kamar mandi. Ngapain juga di depan kamu? Dipikir saya nggak punya malu apa?”

Kok dia nyolot?

“Ya udah cepet!” timpalku.

“Lagian kamu kenapa bangun di waktu yang nggak tepat?” tanya Om Taeyong. Aku hanya mengernyit. “Emang ya kalau mau modus liat badan saya ya gitu.”

”Sembarangan!” teriakku sambil melempar guling milik Om Taeyong sembarang arah. Karena ya, aku nggak tau pastinya Om Taeyong berdiri di sebelah mana, aku masih bersembunyi di dalam selimut.

“Heh! Dilempar–lempar!”

“Ya makanya cepet!” kataku. “Ngambil baju aja lama banget. Bilang aja mau pamer badan sama aku!”

Nggak ada tanggapan dari  Taeyong lagi. Aku keluar dari selimut dan nggak menemukan Om Taeyong di tempatnya. Sial, si gila itu. Gila–gila begitu tetap pacarku, kok.

Aku merapikan rambutku terlebih dahulu sebelum pergi keluar kamar. Keberuntungan nggak memihakku saat ini, karena tiba–tiba saja datang Mark saat aku keluar dari kamar Om Taeyong. Adik Om Taeyong itu menatapku dengan alis berkedut, seolah curiga kepadaku.

“Mau ke sekolah, Mark?” tanyaku, berusaha sesantai mungkin.

“Kalian... Nggak ngapa–ngapain kan?” Mark balik bertanya.

Aku menatap Mark heran, lalu tersenyum canggung. “Ngapa–ngapain gimana maksud kamu?”

“Ya ngapain gitu,” kata Mark. “Kalian berdua kan lawan jenis, udah dewasa. Terlebih lagi di kamar. Ngapain coba?”

Aku berdecak, kemudian menendang tulang kering Mark. Gila ya dia, memangnya apa yang kulakukan dengan Om Taeyong? Kami hanya tidur, bersama. Nggak ada lagi selain itu. Dasar, pikirannya benar–benar sekotor air got.

“Kok ditendang?!” protes Mark. “Jangan–jangan bener ya kalian berdua macem–macem!”

“Sembarang aja sih!” pekikku. “Aku nggak ngapa–ngapain! Mana mungkin coba. Nyebelin banget, minggir sana!”

Aku langsung meninggalkan Mark. Pria itu kembali bersuara.

“Mau kemana?”

“Ke kamar mandi!” jawabku ketus.

“Kamar mandi di sebelah sana ngomong–ngomong,” kata Mark sambil menunjuk arah yang berkebalikan dengan arah langkahku.

Sial, sial. Memalukan sekali.

“Makanya, kalau mau apa–apa tanya dulu dong sama orang ganteng!” gumam Mark.

Aku berdecih.

✨✨✨

“Bete terus,” kata Om Taeyong tiba–tiba, membuka pembicaraan setelah sekian lama hening. Fyi, kami sedang dalam perjalanan menuju rumahku. “Kenapa?”

“Mark tuh!” balasku dengan sedikit penekanan saat menyebut nama Mark. “Nyebelin banget! Masa dia nuduh aku sama Om ngapa–ngapain semalem!”

“Lho? Emang kita ngapa–ngapain kan semalem.”

Jawaban dari Om Taeyong sama sekali nggak terduga. Aku mengerjap beberapa kali. “H–hah?”

“Nggak inget, ya?” tanya Om Taeyong dengan wajah yang benar–benar, argh...

“O–om?”

Om Taeyong tiba–tiba tertawa keras, bahunya saja sampai terguncang saking menghayati tawanya. “Bercanda, bercanda. Pucet banget mukanya!” serunya, lalu tertawa lagi.

Kesal karena Om Taeyong menjahiliku, aku langsung menarik telinga Om Taeyong lalu mencubiti lengannya. “Dasar ya, nggak adik, nggak kakak! Sama–sama nyebelin! Kesel, ah!”

“Ya maaf. Sini,” kata Om Taeyong. Tangannya bertengger di bahuku, lalu menarik bahuku sehingga tubuhku sedikit condong ke arah Om Taeyong. Lelaki itu dengan cepat mengecup puncak kepalaku, lalu mengacaknya pelan. Yah, gagal marah.

“Nanti ngampus?” tanya Om Taeyong, mngalihkan topik.

“Iya,” jawabku. “Om ngantor juga?”

Om Taeyong mengangguk.

“Emang udah nggak demam?” tanyaku, lagi.

“Demamnya udah turun,” jawab Om Taeyong. “Udah lebih enakan juga.”

Aku manggut–manggut, lalu mengalihkan pandangan keluar. Mataku menelisik tiap inci jalanan yang dilewati mobil yang kududuki ini. Mataku membelalak melihat seseorang yang lama ini sangat kurindukan.

“Om berhenti!” pekikku.

Om Taeyong refleks menginjak rem, membuat tubuhku sedikit terhuyung ke depan, hampir membentur dashboard kalau saja tangan Om Taeyong nggak terulur dan menahan tubuhku.

“K–kenapa?” tanya Om Taeyong, sedikit panik.

“Itu papa!” kataku. Aku langsung membuka seat belt mobil dan beranjak keluar mobil dengan mata yang berkaca–kaca. Aku berlari sekuat tenaga, nggak peduli dengan apapun yang ada di sekitarku. Sampai, sejurus kemudian terdengar suara klaskson mobil bersautan disusul suara Om Taeyong dan papa yang memanggil namaku.

I–ini... Sial.

BRAK!

Tubuhku terhuyung dan setelah itu rasa sakit menyebar ke seluruh tubuhku. Sebelum benar–benar kehilangan kesadaran, aku bisa melihat papa di depanku, dengan sebutir air mata yang lolos dari matanya. Dia menangis.

✨✨✨

[2] Marriage | Lee Taeyong ✔️  [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang