28 : Forgive

20.3K 3.3K 160
                                    

"Anterin jangan?"

Aku menggeleng. Masih sambil membereskan beberapa barang-barangku, aku membuka ponsel. Ah, sudah pukul lima sore. Selama itu memang aku disini. Setelah merapikan barang-barangku, aku izin pergi ke kamar mandi terlebih dahulu. Nggak lama, aku kembali lagi.

"Eh? Jian ya?"

Aku menoleh ke sumber suara. Eh, dia---dia kan? Eh, siapa ya aku lupa. Teman Om Taeyong yang tampan itu!

"Ah---Jaehyun, ya?" tanyaku.

Dia mengangguk, lalu tersenyum. Berjalan beriringan denganku, dia kembali berbicara. "Sama siapa?" tanyanya.

"Sama temen," jawabku, lalu mengecek jam tangan. "Lagi jam makan ya?"

"Nggak," jawabnya. Dia menunjuk satu meja yang letaknya tepat di depanku. "Cuma nemenin Taeyong yang dari tadi terus liatin meja kamu."

Mata kami saling berkontakan. Maksudku, aku dan Om Taeyong yang ternyata ada di cafe yang sama denganku sejak tadi---mungkin. Aku tersenyum canggung. Mengalihkan pandanganku dari Om Taeyong, aku kembali melirik Jaehyun.

"Aku duluan," kataku. "Udah sore."

Tanpa meminta persetujuan dari salah satu atau keduanya, aku langsung bergegas. Daniel masih menungguku di depan rupanya, buru-buru kusuruh pulang. Begitu pun aku, aku langsung pergi dari cafe itu. Belum sempat memesan ojek online, aku berjalan sampai cukup jauh dari tempatku tadi. Setelah itu barulah aku memesan.

Tapi, tiba-tiba seseorang berhenti di depanku. Nafasnya memburu. "Jian---"

"Om," aku memotong ucapan Om Taeyong. "Kalau mau debatin soal aku sama Daniel tadi, lain kali aja. Aku capek."

Om Taeyong diam beberapa saat, sebelum kemudian menggenggam tanganku dan menarikku ikut bersamanya.

"Ayo pulang."

Om Taeyong membawaku ke parkiran cafe, kemudian menyuruhku naik ke dalam mobilnya. Dia mulai mengemudi dan aku hanya diam memperhatikan jalan. Hening, hanya ada suara kendaraan lain dari luar. Nggak ada dariku dan Om Taeyong yang berbicara, semua larut dalam pikiran masing-masing. Atau mungkin---nggak ada yang berani menembus sekat canggung diantara kami berdua. Bahkan sampai saat tiba di rumahku, kami masih dalam keadaan diam. Aku tersenyum canggung sebelum keluar dari mobil Om Taeyong, sama sekali nggak mengucapkan 'terima kasih' atau ucapan lainnya.

Kurasa kami memang sedang bertengkar hebat, namun dalam diam.

Aku masuk ke dalam rumah. Menghela nafas sebelum menjatuhkan tubuhku ke atas sofa, aku benar-benar terlihat seperti orang yang frustasi.

Cklek!

"Papa mau kemana?" tanyaku, melihat papa sudah rapi dengan pakaiannya dan tas yang cukup besar yang dia jinjing.

"Ada dinas," jawab papa. "Dua hari. Kalau kalian butuh uang, papa udah simpen di kamar masing-masing."

Aku beranjak, kemudian memeluk papa singkat. "Iya. Hati-hati."

Belum genap beberapa menit sepeninggalan papa, pintu rumah diketuk seseorang. Dengan malas, aku lagi-lagi kembali beranjak dari sofa rumahku yang nyamannya tiada dua. Knop pintu kutarik dan terlihatlah seseorang yang beberapa saat lalu bertemu denganku. Tentu, Om Taeyong orangnya.

Dia menatapku, nyaris nggak berekspresi. "Kita perlu bicara," katanya.

Aku mengangguk, kemudian mempersilahkan Om Taeyong masuk ke dalam rumah. Bisa saja sebenarnya bicara di luar, tapi aku takut jika kami akan bertengkar lagi dan mengundang atensi banyak orang. Tapi, resiko berbicara di dalam rumah juga perlu kupikirkan. Aku nggak melupakan keberadaan Renjun di rumah, yang bisa kapan saja menguping pembicaraan kami dan kemudian mengejekku.

"Aku ambil minum---"

"Nggak usah," potong Om Taeyong. "Sebentar aja."

Aku mengangguk, lalu duduk nggak jauh dari Om Taeyong. Awalnya kami saling diam, tapi kemudian Om Taeyong mulai membuka pembicaraan.

"Soal kemarin-"

"Maaf, Om. Aku minta maaf soal kemarin," potongku. "Aku terlalu keras sama Om. Aku cuma ngerasa kesel-aku nggak mau ngedengerin penjelasan dari Om dulu. Aku marah tanpa alasan. Maaf. Tapi, kalau Om nggak mau maafin aku dan mau marahin aku, nggak apa-apa kok. Aku emang pantes. Apalagi tadi, a-aku nggak tau diri banget. Om marahin aja aku, cepet!"

Om Taeyong menghiraukan ucapanku. Pria itu langsung beranjak dari duduknya, lalu menatapku. Sudah bersiap merima omelan Om Taeyong, aku menundukkan kepala. Yang dilakukan Om Taeyong diluar dugaanku. Dia menarikku beranjak dari kursi, lalu merentangkan lengannya. Sambil menahan tangis, aku menyambut hangat pelukan Om Taeyong. Kukira dia akan memarahiku.

"Aku maafin."

Aku mendorong bahu Om Taeyong pelan, melepas pelukannya. Dengan mata yang sudah terbanjiri air mata, aku menatap Om Taeyong. "Om nggak mau marahin aku?"

Om Taeyong menggeleng.

"Tapi aku marah-marah ke Om waktu itu," kataku.

Sekali lagi, Om Taeyong menghiraukan ucapanku. Dia kembali menarikku masuk ke dalam dekapannya.

"Udah ya, kita baikan," ucap Om Taeyong setelah melepas pelukannya. "Jangan marah-marah lagi. Jangan nolak kalau aku tawarin jemput."

Aku mengangguk.

"Yang kemarin itu, tolong banget. Aku minta kamu maklum, itu urusan pekerjaan. Kamu ada kan waktu aku dikasih tugas untuk jadi tutor anak magang itu? Jadi tolong, jangan salah paham lagi ya untuk kedepannya."

"Iya, Om," kataku sembari mengangguk. "Maaf."

Om Taeyong mengangguk, lalu mengelus puncak kepalaku. "Ya udah. Aku pulang kalau gitu."

Aku menarik lengan Om Taeyong saat pria itu berbalik. "Om!" pekikku. "Uhm-papa nggak ada di rumah. Om... mau tidur disini?"

Aku merutuki mulut bodohku setelahnya.

✨✨✨

[2] Marriage | Lee Taeyong ✔️  [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang