06 : Heroes

33.7K 4.8K 233
                                    

Mark

Mark kasih aku alamatnya |

| Mau ksana malem2?
| Jangan gila

Sekaraaang Markkk |

| Besok aja
| Atau nanti gue suruh Jeno temenin
| Kalau gue gabisa

Nggak usah |
KASIH ALAMATNYA AJA RIBET 
BANGET SIH???? |

| BESOK AJA
| GUE ANTER SEKALIAN

Nggak usah |
Dibilang aku bisa sendiri |
Ngeyelᕙ(⇀‸↼‶)ᕗ |

| Yauda iya
| Tapi jangan sendirian
| Jl. Paradise no 11


Setelah mendapatkan alamat kostnya Winwin, aku buru–buru mengganti pakaian tidurku. Aku keluar kamar perlahan, jalan mengendap–endap keluar, takut papa tau.

Setelah berhasil keluar dari rumah tanpa diketahui papa, aku memesan gojek. Nggak perlu lama,  mas–masnya datang, posisinya tadi memang nggak terlalu jauh dari rumahku, makanya cepat. Aku naik ke atas motornya, lalu memberikan alamat yang sudah Mark beri tadi ke mas gojek. Hanya butuh waktu dua puluh menit, kami sampai. Aku turun, lalu memberikan uang senilai yang tertera di layar ponselku.

Aku celingukan. Disini nggak ada rumah yang terlihat seperti rumah kost. Apa Mark salah memberi alamat? Tapi yang benar saja! Mataku nggak sengaja menangkap beberapa orang yang duduk di tepi jalan sana, mungkin mereka tau dimana letak rumah kost yang kucari. Firasatku sudah nggak enak, tapi aku tetap berjalan ke tempat orang–orang itu.

“Permisi—” kataku pelan. Tiga orang lelaki berbalik, menatapku. Dua diantara mereka menatapku ramah. Namun yang satunya terlihat menyeringai. Aku takut. “Saya mau—”

“Mau gabung?” lelaki yang menyeringai tadi menyela ucapanku. Aku refleks menggeleng, namun dia lebih dulu menarik tanganku. Ugh, sialan. Aku meronta, menarik balik tanganku. Tapi hasilnya nihil karena mereka bertiga dan aku sendiri. Aku berteriak, meminta tolong. Tapi rasanya percuma karena disini sangat sepi dan ini sudah cukup larut.

“Le–PAS!” kataku berteriak. “Bajingan!”

Tiba–tiba tanganku ditarik paksa oleh pria bertopi hitam yang datang entah dari mana. Aku terjatuh di belakangnya, lalu menangis.

Sumpah, demi apapun, aku belum pernah melihat orang baku hantam secara langsung seperti ini. Aku takut!

“T–tolong!!!” aku berteriak histeris saat melihat orang yang menarikku tadi hampir kalap. Walau sudah jatuh beberapa kali, orang itu masih saja melawan tiga orang yang mencabuliku tadi. Mana adil, satu lawan tiga!

“S–top! Cukup!” aku kembali berteriak. “Tolong!!!”

Tiga orang jahat itu pergi saat orang bertopi itu sudah terkapar nggak berdaya. Aku buru–buru bangkit, lalu berjalan mendekat dan berjongkok di samping orang itu. Aku menarik topinya perlahan dan sekarang tampak keseluruhan wajahnya.

Dia— apa–apaan?! Tangisku nggak terbendung lagi, aku langsung menangkup wajahku.

“Kamu nggak kenapa–napa?” tanya orang itu.

“Om Taeyong tuh apa–apaan sih?!” aku membentak orang tadi, yang tak lain adalah Om Taeyong. “Nekat banget lawan tiga orang!”

Om Taeyong terkekeh, lalu berusaha duduk. Aku membantunya, mendorong punggungnya perlahan agar bisa duduk tegak. Pasti tubuhnya sakit–sakit, huhu salahku. Om Taeyong menatapku, lalu menautkan alisnya. “Kok nangis? Orang yang tadi kan udah pergi. Kamu nggak diapa–apain mereka, kan?”

Aku menggeleng, lalu menyeka air mataku. “Aku nggak diapa–apain, tapi om diapa–apain. Liat itu mukanya, nggak sakit apa?” tanyaku yang masih sesenggukan. “Berdarah tau, om!”

“Nggak apa,” katanya Om Taeyong pelan, lalu menghela nafas. “Untung aja tadi saya nggak telat dateng. Kamu beneran nggak kenapa–napa, kan?”

Aku mengangguk lagi.

“Liat sini tangan kamu,” kata Om Taeyong sambil menarik tanganku. Matanya menatap intens bekas kebiruan yang nampak tepat di pergelangan tanganku. “Maaf ya, tadi nariknya kekerasan. Jadi lebam,” katanya.

“Aku yang minta maaf. Gara–gara aku muka om jadi babak belur,” kataku. “Lagian nekat banget dateng sendirian, bawa rombongan kan bisa biar nggak dikeroyok kayak tadi!”

Om Taeyong hanya menggeleng, lalu berusaha berdiri. Aku membantunya lagi, mengaitkan tangan Om Taeyong di leherku lalu memapahnya berjalan.

“Mau cek rumah kostnya dulu?” tanya Om Taeyong. Aku mengangguk. “Pelan–pelan ya, kaki saya ngilu.”

“Iya.”

Kami berjalan beriringan memasuki sebuah gang kecil. Ternyata, rumah kost Winwin itu masuk gang. Pantas tadi aku sama sekali nggak lihat. Om Taeyong yang memandu jalan, katanya dia diberi tau Mark tadi. Nggak perlu waktu lama, kami sampai. Gelap, hanya ada satu lampu yang menyala. Sepertinya sudah tutup. Aku melirik jam tanganku, sudah pukul sebelas malam. Helaan nafas keluar dari mulutku, nampaknya bertemu Renjun harus diundur lagi.

“Bego sih, dateng ke kost masa malem–malem?” celetuk Om Taeyong. Aku hanya mencebikkan bibir, sebal. “Pulang?”

“Iya lah!”

“Ya udah, ayo. Mobil saya di deket jalanan tadi,” katanya.

Aku mengangguk, lalu kembali memapah Om Taeyong berjalan. Tubuh Om Taeyong sih memang terlihat kecil, tapi kalau kalian berada diposisiku sekarang, rasanya berat sekali. Aku nggak kuat, tapi kupaksakan.

Akhirnya, kami sampai di mobil. Aku membantu Om Taeyong masuk ke dalam mobil, lalu setelahnya baru aku yang masuk. Selepas berada duduk di bangku pengemudi, Om Taeyong melirikku lalu mengeluarkan helaan nafas berat. “Lain kali kalau dibilangin Mark itu jangan ngeyel, dia khawatir banget sama kamu tadi.”

“Iya, maaf,” kataku. “Habisnya aku nggak sabar mau ketemu Renjun, aku kangen.”

“Tapi ya nggak gitu juga. Nanti kamu juga kan yang celaka? Kayak tadi, ngapain coba nyamperin gerombolan cowok kurang ajar?”

“Aku mau nanya dimana kostnya Winwin, soalnya nggak keliatan rumah–rumah yang mirip tempat kost gitu,” jawabku. “Sebenernya takut, tapi ya mau gimana lagi?”

“Nekat!” cetus Om Taeyong. “Sekarang saya anter kamu kemana?”

“Sampe halte pas Om mergokin aku sama Mark aja, nanti aku bisa pesen gojek,” kataku.

Om Taeyong menggeleng. “Jangan. Saya anter aja kamu sampe rumah, udah malem. Jangan cari mati!”

Aku terus menolak tawaran Om Taeyong yang mau mengantarku pulang, tapi dia pun terus memaksa. Pada akhirnya, dengan berat hati aku membiarkan Om Taeyong mengantarku pulang. Sebenarnya aku nggak pernah menunjukkan rumahku ke siapapun, termasuk teman-teman kampusku. Kecuali Ryujin sih. Aku nggak mau mereka melihat papaku, terlebih lagi wanita-wanita di dalam rumahku.

"Udah sampai," katanya.

Aku melirik Om Taeyong, lalu menghela nafas panjang. "Om masuk dulu yuk, aku bersihin lukanya."

Om Taeyong menggeleng. "Gak perlu, bisa sama Mark nanti."

"Mark? Dia cuma bocah SMA, tau apa? Yang ada luka Om makin parah kalau diobatin sama Mark. Udah, ayo ikut. Anggap aja ini wujud balas jasa aku ke Om karena udah nyelamatin aku. Jangan nolak!"

Om Taeyong akhirnya mengangguk lalu mengikutiku dari belakang. Sebelumnya, aku sudah mewanti-wanti Om Taeyong supaya tetap diam dan jangan banyak bertanya. Aku menghela nafas sebelum membuka pintu rumah. Untungnya, di ruang tengan nggak ada papa. Aku menarik tangan Om Taeyong supaya dia masuk. Awalnya semua berjalan dengan baik, tapi kemudian semuanya pupus karena suara laknat yang terdengar dari kamar papa.

Sial!

✨✨✨

[2] Marriage | Lee Taeyong ✔️  [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang