12 : The Rebellion

27.6K 4.2K 251
                                    

Sepeninggalan Om Taeyong, aku kembali masuk ke dalam rumah. Sungguh, rasanya aku mau melabrak papa, tapi otakku masih waras untuk nggak melakukan itu. Aku berjalan mondar-mandir, mencoba berfikir keras. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar papa. Papa membuka pintu kamarnya, berdiri di ambang pintu sambil menatapku dingin. "Apa?" tanya papa.

Aku menatap papa, belum berkutik. Rasanya ingin menangis, mengingat perbedaan cara papa menatapku dulu dan sekarang.

"Papa, aku—" aku menggigit bibir bawahku. "Aku mau bicara."

"Bicara aja," katanya.

"Ini soal, Renjun," kataku. Alis papa sedikit berkedut, lalu ia kembali berujar. "Suruh dia pulang. Bilangin, jangan suka nyusahin neneknya, apalagi sampai ngadu. Papa nggak suka!"

Aku meneguk salivaku, lalu memberanikan diri menatap mata papa. "Renjun nggak di rumah nenek, apalagi sampai ngadu kelakuan kurang ajar papa. Renjun kabur, aku bohong soal Renjun yang tinggal di rumah nenek."

"Kabur?" tanya papa. "Ck! Si bocah itu! Cari sampai ketemu, bawa dia pulang!"

"Renjun nggak akan pulang kalau papa masih suka bawa jalang-jalang itu ke rumah!" kataku, sedikit meninggikan suara. "Papa kenapa sih? Ini itu bukan papa! Papanya aku sama Renjun itu nggak suka bawa jalan ke rumah! Papanya aku sama Renjun itu orang baik, nggak brengsek!"

Plak!

Aku refleks memegang pipi kananku yang terasa perih dan panas. Sebutir air mata lolos dari mataku. "Papa jahat," kataku, pelan, nyaris nggak terdengar.

"Tutup mulut kamu ya! Kamu itu nggak tau apa-apa!" bentak papa, kali ini tangannya menunjuk wajahku. Dia terbawa suasana, emosi.

"Nggak tau apa-apa apanya?! Aku tau! Aku liat apa yang papa lakuin!" aku membalas, ikut membentak. Masa bodoh jika aku dikata anak durhaka karena membentak papaku sendiri, tapi kali ini aku harus seperti itu karena papa benar-benar kelewatan batas. "Apa ini cara papa move on dari kepergian mama? Bawa jalang sialan itu ke rumah, itu cara papa bersenang-senang? Ha?! Papa— plak!"

Aku terdiam, menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Kali ini aku benar-benar menangis, merasakan nyeri di pipi kananku yang terkena tamparan papa sebanyak dua kali dan merasakan nyeri di hati melihat perlakuan papa terhadapku.

"Jangan bawa-bawa mama! Dia udah nggak ada, dia udah mati!!!" teriak papa. Mata merahnya menatapku tajam, lalu menunjuk kamarku dengan jarinya. "Masuk ke kamar! Sebelum papa bener-bener nyakitin kamu!"

Aku mengangkat kepalaku menatap papa. "Sakitin aja aku! Aku lebih baik ikut mama daripada harus tinggal disini sama orang nggak tau malu kayak papa! Orang brengsek yang nggak punya hati!"

"Ck!" papa berdecak, lalu mencengkram tanganku. "Dasar anak nggak tau diuntung! Ayo pergi sana, susul mama yang kamu bangga-banggain itu!"

Papa menarik rambutku, memukuliku, lalu melakukan sesuatu yang membuatku kehilangan kesadaran setelah itu.

✨✨✨

Aku terbangun dengan posisi berbaring di lantai ruang tengah. Aku memegangi kepalaku yang terasa pusing, bahkan seperti berputar-putar. Aku berusaha berdiri, memegang dudukan kursi sebagai penyanggah. Aku mengedarkan pandanganku, melihat keadaan sekitar ruang tengah. Semua barang-barang berserakan, bahkan ada pecahan kaca. Sungguh, aku nggak ingat apa yang terjadi semalam. Yang kuingat hanya papa yang menarik rambutku, memukuliku, lalu mendorongku sampai terantuk tembok. Selebihnya, aku nggak tau apa yang papa lakukan.

Aku berjalan menuju kamar papa yang pintunya terbuka, keadaannya hampir sama. Semua barang-barang berserakan, bahkan kaca besar di samping kasurnya pecah. Dan nggak ada papa di dalamnya.

"Sshh, laper," kataku sambil memegangi perut.

Aku pergi ke kamarku untuk mengambil jaket dan masker untuk menutupi wajahku yang lebam-lebam. Ya, urusan perutku sekarang lebih penting daripada urusan papa. Sungguh, aku nggak mau memikirkan soal semalam. Terlalu menyakitkan.

Nggak perlu memesan ojek online, berjalan kaki pun bisa karena minimarket nggak jauh dari rumahku. Baru aku hendak menutup gerbang, sebuah mobil yang lagi–lagi pemiliknya adalah Om Taeyong berhemti di seberang rumahku. Nggak mau Om Taeyong melihat keadaanku saat ini, aku buru–buru kabur. Bodohnya, bukannya aku masuk kembali ke rumah dan mengunci pintu, aku malah berlari meninggalkan rumah.

Sadar kalau aku menghindar, Om Taeyong buru–buru keluar dari mobilnya dan mengejarku. Dia berlari dua kali lebih cepat dariku. Tentu saja, lihat kakinya!

Satu langkah lagi, Om Taeyong bisa dengan mudah meraihku. Pria itu berhasil menarik tangan kananku, membuatku terhuyung ke belakang dan berakhir memeluknya. Om Taeyong mempererat pelukannya, lalu menarik daguku keatas, menyuruhku menatap matanya.

“Kenapa lari?” tanyanya. Nada bicaranya dingin, sama seperti nada bicara papa malam tadi. Mengingatnya, aku jadi ingin menangis.

Aku hanya menggeleng kecil.

“Kamu kenapa?” tanya Om Taeyong. “Kenapa bajunya belum diganti? Kenapa pake masker?”

Aku menggeleng lagi.

“Kenapa semalem saya telepon nggak diangkat? Ada masalah sama papa kamu? Pasti ada sesuatu kan?” tanya Om Taeyong bertubi–tubi.

“Aku nggak apa–apa, Om. Nggak ada apa–apa. Udah ya, aku mau buru–buru ke minimarket. Om Taeyong pulang aja ya, nanti aku telepon.” kataku sambil menghempas tubuh Om Taeyong.

“Saya anter,” katanya.

Aku menggeleng, lalu mendorong tubuh Om Taeyong untuk menyuruhnya kembali ke mobil.

Om Taeyong akhirnya menurut. Dia berjalan berlawanan arah denganku, tapi tatapannya masih mengarah padaku.

Sementara aku, terus berjalan tanpa menoleh ke belakang untuk menengok Om Taeyong lagi. Baru saja hendak aku melanglahkan kaki untuk menyebrang, kepalaku benar–benar seperti berputar. Aku berpegangan kepada sebuah tiang yang untungnya berada di dekatku. Sungguh, sangat pusing. Cukup lama aku berpegangan kepada sebuah tiang, keseimbangan tubuhku benar–benar hilang. Aku ambruk. Lalu setelah itu gelap.

✨✨✨

bingung nyari casting yang cocok buat jadi papanya Renjun sana Jian. tipe yang dingin–dingin kejam gituu kira–kira siapa ya?? req dongg

[2] Marriage | Lee Taeyong ✔️  [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang