38 : Perhatian Taeyong

16.9K 2.5K 101
                                    

Karena hari ini ultah Om Tiway, jadinya dobel up.

✨✨✨

Matahari belum nampak. Di St. John’s, Kanada bagian timur, jam masih menujukkan pukul empat pagi. Jian masih tertidur lelap dengan plester demam tertempel di dahinya. Daniel yang tadi malam berniat menemani Jian yang demam hingga gadis itu tertidur kini ikut terlelap di sampingnya. Dalam satu selimut tebal yang menutupi setengah tubuh, Daniel memeluk Jian posesif seolah gadis itu adalah gulingnya. Pria itu terkadang lupa diri saat tertidur.

Di dalam keheningan, tiba–tiba ponsel Jian berdering keras, membuat Daniel terusik. Dia paling tidak suka diganggu saat tidur. Namun bukannya berhenti, dering ponsel itu makin menjadi–jadi saat Daniel memilih mengabaikannya. Pada akhirnya, pria itu menyerah—meraba kasur bagian belakang dan mengambil ponsel milik Jian. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Daniel langsung mengusap tombol berwarna hijau ke kanan—mengangkatnya.

“Halo?”

Sempat tidak ada balasan beberapa saat, tapi kemudian terdengar suara seorang pria. “Siapa disana?”

Daniel mengernyit bingung. Baru ia hendak berbicara lagi, Jian menggeliat dan membuka matanya perlahan. “Siapa?” tanya gadis itu—suaranya sangat parau, efek bangun tidur dan demam semalam.

“Nggak tau, nih,” jawab Daniel. Pria itu menyerahkan ponselnya pada si pemilik. “Lo jawab nih, ah. Gue mau tidur lagi.”

Tanpa melihat layar ponsel untuk melihat siapa yang meneleponnya, Jian langsung menempelkan ponsel di telinganya. Matanya kembali memejam. “Halo?” sapanya.

Jian?”

Mendengar suara itu, Jian menjauhkan ponsel dari telinganya dan melihat layar ponselnya. Sontak gadis itu membelalak melihat nama Taeyong tertera di layar ponselnya.

Jangan dimatiin!” pekik Taeyong dari seberang sana. “Hei, jangan dimatiin.”

“Ada apa?” tanya Jian. Suaranya terdengar mantap, tapi hatinya goyah luar biasa. “Kalau nggak penting aku langsung matiin, Om.”

Taeyong menghela nafas panjang. Sepertinya tidak ada kesempatan baginya hanya untuk sekedar bertanya kabar, karena jika dia terlalu basa–basi Jian akan langsung memutuskan panggilan dan tidak akan mengangkat teleponnya lagi.

Ini penting,” Taeyong menyahut lagi. “Nenek kamu.”

Jian menepis lengan Daniel yang masih setia melingkar di tubuhnya, lalu mengubah posisinya menjadi duduk. “Nenek kenapa? Baik–baik aja kan?”

Nenek kamu meninggal, Ji,” Taeyong menghela nafas panjang. “Belum lama aku dikabarin Mark. Renjun syok, tapi kamu nggak usah khawatir karena disana ada Mark.”

Sempat hening beberapa saat. “Om Taeyong nggak bohong?” suara Jian terdengar bergetar. “Om jangan bercanda gini, nggak lucu, Om.”

Jian mulai terisak. “Om jangan bohong!” suaranya meninggi.

Apa bagusnya bohong soal kayak gini? Aku nggak serendah itu, cuma karena mau bicara sama kamu sampai harus ngarang–ngarang tentang kematian. Aku serius, Ji,” suara Taeyong terdengar lagi. “Aku nggak bohong. Bukan bermaksud mau bikin kamu stress gara–gara ini, tapi kamu harus tau.”

Tangis Jian mulai mengeras, membuat Taeyong di seberang sana merasa bersalah. Tapi apa boleh buat? Jian harus tau ini semua dan toh kalaupun ditutupi saat ini Jian pasti akan tahu nantinya. Sama saja gadis itu akan sesedih ini.

“Aku harus gimana Om?” tanya gadis itu lirih “Aku nggak bisa pulang karena papa belum operasi dan kondisinya lemah. Tapi disisi lain aku harus ada di samping Renjun disaat kayak gini. Dia butuh aku, Om. Aku nggak tau harus gimana sekarang. Aku takut.”

Mendengar penuturan Jian, hati Taeyong seolah tercabik. Andai, andai saja Taeyong ada disana, dia pasti akan memeluk Jian dan menenagkannya. Taeyong akan melakukan apa saja agar Jian tidak serapuh ini. Semua akan Taeyong kerahkan hanya untuk Jian. Tapi itu semua hanya perandaian yang terus berputar di kepala Taeyong yang sampai saat ini masih terdiam. Pria itu tidak tau harus berbuat apa karena Jian jauh disana sementara dirinya disini.

“Om aku takut,” suara Jian terdengar bergetar. “Aku harus gimana?”

Taeyong menghela nafas. “Jangan nangis, jagain papa kamu aja. Soal Renjun kamu nggak usah khawatir, ada Mark sama aku yang jaga. Renjun nggak sendirian, dia bisa tidur di rumah kalau mau. Kamu cukup baik–baik aja disana, ya?”

Jian tertegun. Matanya lagi–lagi memanas. Masih sempat ia berpikir tentang perasaanya pada Taeyong saat ini. Rasanya sia–sia saja tiga minggu yang Jian habiskan untuk menemani papanya berobat ke Kanada, sekaligus upaya melupakan Taeyong setelah mendengar perhatian pria itu. Perasaannya jadi tak karuan saat ini.

Hei,” suara Taeyong terdengar lagi. “Masih disana?”

“I–iya,” jawab Jian, gadis itu sudah lebih tenang sekarang.

Jaga kesehatan ya, jangan capek–capek. Aku jagain Renjun disini. Kamu bisa percaya sama aku, Renjun nggak akan sendirian,” suara Taeyong memelan. “Udah ya. Aku tutup?”

“J–jangan.”

Kenapa?”

“S–selamat ulang tahun, piip.”

Jian langsung memutuskan panggilan, dan tak lama kembali terisak. Tangisan gadis itu malah sampai membuat Daniel yang lelap tertidur itu terusik—lagi.

“Heh?! Kenapa nangis?” Daniel panik karena tiba–tiba melihat Jian yang menangis. “Gue nggak apa–apain lo, kok.” Daniel menjelaskan bahkan sebelum ditanyai. Pria itu hanya takut Jian salah paham karena mereka tidur di dalam ranjang yang sama saat ini.

Jian menggelengkan kepalanya. “Nenek aku meninggal, Niel..” ucap Jian lirih dan tangisnya kembali menjadi–jadi.

Melihat itu, Daniel mendekat, dan menuntun kepala Jian agar bersandar di bahunya. Pria itu mengusap puncak kepala Jian sambil terus menenangkan Jian yang masih menangis. Inilah situasi terburuk yang pernah Jian alami. Gadis itu bahkan tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana dia harus meneruskan hidupnya. Jalannya seolah sudah buntu.

“Hei, jangan nangis,” ucap Daniel. “Nggak apa–apa, lo masih punya gue. Udah ya, jangan nangis.”

Bukannya berhenti, Jian malah makin terisak. Mendapati perlakuan seperti ini dari Daniel membuatnya bersalah. Perasannya masih ada untuk Taeyong, tapi raganya bersama orang lain. Jian bahkan bingung bagaimana dia harus menghancurkan semua perasaanya pada Taeyong karena dia benci harus merasa seperti ini terus. Jian harus segera menyingkir dari kehidupan Taeyong karena dialah yang memutuskan jalan hidupnya seperti ini, tapi disisi lain dia rindu perhatian Taeyong. Fondasi yang telah dia bangung selama beberapa minggu ini hancur tak tersisakan hanya karena mendengar suara Taeyong dari telepon. Meski terpisah jauh, Jian masih bisa merasakan kehangatan dari ucapan Taeyong.

✨✨✨

[2] Marriage | Lee Taeyong ✔️  [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang