55 : Tidak Romantis!

17K 2.4K 75
                                    

"Malam, Om," kataku.

Papa Om Taeyong yang saat itu baru satu langkah masuk ke dalam rumah berhenti, menatapku kemudian tersenyum kecil. Sial, mungkin wajahku saat ini terlihat seperti sangat terpesona dengan Papa Om Taeyong—melongo, sambil terus menatapnya—karena demi apapun wajahnya nggak terlihat seperti bapak–bapak. Dan wajah Om Taeyong terlihat jelas di wajah papanya, sangat mirip. Kalau Mark, mungkin ada perpaduan gen antara papa dan mamanya soalnya tidak terlalu mirip. Heh, apa-apaan ini aku malah menganalisis wajah?!

"Ah—anu, saya—"

"Iya," potong Papa Om Taeyong. "Yang sering Taeyong ceritakan itu, kan? Siapa—Huang Jian?"

Aku mengangguk.

"Ya sudah, duduk dulu. Dasar ya Taeyong Mark, ada tamu malah ditinggal sendiri," Papa Om Taeyong mendumel. "Mau minum apa?"

Aku menggeleng cepat. "Nggak usah repot-repot Om, tadi saya udah minum banyak kok!"

"Makan?"

Aku menggeleng lagi. "Saya juga udah makan, makasih Om."

Papa Om Taeyong mengangguk, lalu duduk di sofa, tepatnya di seberang sofa yang kududuki. Papa Om Taeyong melepas jas kerjanya, lalu kembali menatapku. "Taeyong sama Mark banyak cerita tentang kamu," Papa Om Taeyong berbicara lagi, sementara itu aku hanya mengangguk. "Udah berapa lama sama Taeyong?"

Aku terdiam cukup lama karena bingung harus menjawab apa dan bagaimana. Sampai terdengar suara Om Taeyong mengintrupsi dari belakang. Pria datang, duduk di sebelahku. Syukurlah, aku tidak harus menjawab pertanyaan yang Papa Om Taeyong ajukan tadi.

"Pa, ini—"

"Iya, Papa tau," Papa Om Taeyong memotong ucapan anaknya, lalu menatap kami cukup serius. "Jadi, rencananya tanggal berapa kalian mau nikah?"

Jika aku sedang minum, pasti aku tersedak mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Papa Om Taeyong. Tapi untung saja aku tidak sedang minum, jadi tidak sampai tersedak, hanya terbatuk kecil. Sama halnya denganku, Om Taeyong juga sama-sama tersentak mendengar pertanyaan yang tiba-tiba begitu.

"N-nikah?" Tanyaku gugup.

Papa Om Taeyong mengangguk, tersenyum tipis sambil menatap mataku. "Ya. Nikah. Secepatnya, papa mau lihat kalian nikah," katanya dan kemudian melirik Om Teyong dengan wajah datar. Sumpah, berbeda 180° dengan caranya menatapku barusan. Mungkin memang Om Taeyong dididik dengan keras atau mungkin papanya masih kesal dengan kelakuan Om Taeyong yang terkesan mempermainkan hal yang seharusnya diseriusi. "Papa mau lihat kamu, bahagia sama wanita pilihan kamu."

"Malam ini, jadiin ini kali terakhir kamu bawa wanita pilihan kamu ke hadapan papa," ujar Papa Om Taeyong dengan nada serius. "Jangan sampai tiba-tiba kamu berubah pikiran dan bawa wanita selanjutnya. Ini terakhir, Taeyong!"

Om Taeyong yang awalnya menunduk menengadahkan kepalanya, kemudian mengangguk patuh. "Iya, Pa," ujarnya lirih. "Ini terakhir."

Kini, wajah Papa Om Taeyong melunak—tidak seserius tadi. "Bagus," katanya. "Ya udah, papa cuma mau ngomongin itu sama kalian. Inget ya, papa mau secepatnya kalian menikah."

Papa Om Taeyong beranjak setelah berbicara seperti itu, meninggalkan aku dan Om Taeyong yang masih bingung sekaligus linglung mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Papa Om Taeyong. Menikah secepatnya, ya.

"Jadi, gimana?" Tanya Om Taeyong.

Apa meliriknya. "Apa?"

"Mau nikah?"

Aku berdecak sebal. "Om ngajak aku nikah apa ngajak aku main sih?"

"Ya, nikah."

Sekali lagi, aku berdecak. "Ish, apa sih nggak romantis banget!"

Om Taeyong mengernyit. "Kemarin kan udah?"

"Ya udah lah, terserah."

Om Taeyong mengubah posisi duduknya, gini berhadapan denganku. Dia menatapku sambil tersenyum geli. Astaga, apa lagi sekarang? Tidak lihat apa dia aku sedang kesal begini? Lagian, ya, perempuan mana yang tidak mau disanjung dengan kata-kata romantis. Tapi Om Taeyong, mau nikah? Astaga, begitu saja?

"Marah?" Tanya Om Taeyong?

"Nggak," jawabku. "Udah kan, aku mau pulang." Aku beranjak sambil mengambil tasku. Aku melangkah menuju pintu utama. Langkahku sengaja kubuat pelan, seperti di drama-drama agar Om Taeyong bisa lebih mudah menahanku agar tidak pergi, memelukku, menciumku, atau mengajakku menikah dengan kata-kata romantis—astaga, pikiranku terlalu liar karena terlalu banyak menonton drama yang Renjun rekomendasikan.

Tapi bahkan setelah aku sampai pintu dan hendak membukanya, Om Taeyong tak juga meraihku. Dasar tidak peka! Menyebalkan sekali pria itu.

"Hati-hati," katanya kemudian. Oke, hati-hati saja. Tidak ingin mengantarku, begitu?

Cklek. Aku menutup pintu rumahnya dan kini sudah berada di luar. Sebal? Tentu saja. Acuh sekali pria itu. Tidak tahu deh bagaimana nanti saat kami benar-benar sudah menikah. Apa aku akan dicampakkan? Rasanya ingin kubanting pintu rumahnya, memberi tahu Om Taeyong kalau aku benar-benar kesal. Tapi berhubung ada papanya di dalam, ya aku urungkan. Yang ada aku gagal jadi calon menantunya kalau bertindak sebar-bar itu. Tahan Jian, tahan.

Tapi—cklek! Pintu rumah kembali terbuka dan Om Taeyong keluar dengan jaket yang menutupi tubuhnya. Pria itu tertawa. "Jangan marah," katanya. Ia menggandeng tanganku. "Ayo aku anter. Masa tega ngebiarin calon istri pulang sendiri?"

Sial. Sekali dia berucap aku langsung kalah telak. Niatnya aku ingin marah, tapi gara-gara kata-katanya itu mulutku ingin tersenyum lebar.

"Nyebelin!" Pekikku.

Om Taeyong tertawa. Pria itu membukakan pintu mobil untukku, kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku agar tidak terantuk bagian atas mobil. Aneh melihatnya bersikap manis seperti ini, tapi aku suka.

"Mau cari makan?" Tanya Om Taeyong.

Aku berdecak. "Ngajak makan terus!"

Pria itu tertawa, kemudian menatapku dengan wajah yang menggoda. "Ya udah. Cari cincin sama gaun buat nikah, mau?"

Jangan tanya!

✨✨✨

[2] Marriage | Lee Taeyong ✔️  [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang