09 : Recognition

32.2K 4.9K 332
                                    

“Yang ini, ya?” tanya Om Taeyong.

Aku mengangguk kecil. Selepas Om Taeyong memarkirkan mobil, aku langsung keluar dari mobil bahkan tanpa menunggu Om Taeyong keluar lebih dulu. Kakiku yang nggak sabaran ini langsung menuju tempat kost yang semalam kami datangi. Tiba–tiba tangan kananku dicekal, yang pastinya Om Taeyong pelakunya. Aku langsung meringis keras, lalu menendang kaki Om Taeyong lumayan keras. Pasalnya, bagian yang Om Taeyong cekal itu adalah pergelangan tanganku yang terkilir.

“Ngapain nendang?!” tanya Om Taeyong. Lebih tepatnya sih membentak.

“Ini,” kataku pelan. “Tangan aku kenapa ditarik–tarik? Sakit tau, Om!”

Om Taeyong langsung melepas tanganku yang sebelumnya dia cekal, lalu menggaruk tengkuknya. “Maaf,” katanya.

Aku hanya membuang muka, lalu melanjutkan jalanku menuju tempat kost semalam.

Saat aku mau melangkahkan kaki masuk ke dalam kawasan tempat kost yang dibatasi gerbang, lagi–lagi Om Taeyong mencekalku lagi. Kali ini bukan tanganku yang dia tarik, tetapi tas kecil yang kuselempangkan di bahuku.

“Apa lagi sih?” tanyaku.

“Ini tempat kost laki–laki,” kata Om Taeyong. “Mau digodain apa hah jalan sendirian?”

Aku mengernyit, “terus?”

“Sini,” kata Om Taeyong sambil menggenggam tangan kiriku. “Disamping saya.”

Aku langsung membuang muka ke arah lain. Sumpah, hari ini Om Taeyong kenapa sih? Cringe!

Kami masuk ke dalam. Baru satu langkah, aku membeku. Seseorang yang baru saja keluar dari salah satu kamar itulah penyebabnya. Dia Renjun.

Aku langsung menghempas tangan Om Taeyong dan berjalan perlahan ke arah Renjun. Sama halnya denganku, Renjun pun terdiam diambang pintu sambil menatapku.

“Ce!” serunya.

Aku memeluk Renjun sambil terus menyumpah–serapahinya karena berani–beraninya kabur dari rumah. Renjun malah tertawa, lalu dia mengacak rambutku.

“Cece sama siapa?” tanya Renjun. Pandangannya beralih ke Om Taeyong yang masih berdiam diri di tempatnya. “Oh, kakaknya Mark?”

Aku nggak menggubris pertanyaan Renjun tadi. “Pulang ya, Jun,” kataku.

Renjun menatapku lagi, tatapannya kurang meyakinkan. Tanpa menunggu penjelasan Renjun lagi, aku sudah tau kalau dia pasti nggak mau pulang. Helaan nafas berat keluar dari mulutku. “Nggak kasian apa Jun ngebiarin aku sendirian di rumah?”

Renjun menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. “Aku betah disini, ce. Disini aku banyak temen, ada Winwin–ge, ada Jaemin, kadang–kadang Chenle juga nginep disini kok!”

Aku hanya menghela nafas. Ya kalau Renjun betah disini, mau bagaimana lagi? Harus kupaksa, begitu? Sia–sia saja sih kalau memaksa Renjun.

“Kali–kali papa harus dikasih pelajaran juga ce biar nggak bawa wanita sewaannya ke rumah. Cece juga harus kabur, biar papa sadar kalau kehadiran jalangnya itu ngusik aku sama cece,” kata Renjun. Mimik wajahnya berubah serius. “Kalau cuma aku yang kabur sih, papa mana ada sadar. Buktinya sekarang, papa nggak nanyain aku kan, ce?”

“Ah, itu...” aku menggantungkan ucapanku. “Papa taunya kamu nginep di rumah nenek, bukan kabur.”

Renjun menatapku bingung, “Loh?”

“Aku yang bilang,” kataku pelan. “Aku nggak mau papa khawatir, dia udah terlalu banyak stress, Renjun.”

Renjun berdecak keras. “Ngapain sih cece khawatirin papa? Dia aja masa bodoh sama kita!”

Aku meraih tangan Renjun, lalu mengelusnya pelan. “Gimanapun papa, dia tetep papa kita, Jun. Nggak boleh gitu.”

“Tapi kan ce—”

“Udah ya, Jun,” potongku. “Ya udah kalau kamu betah disini, baik–baik ya.”

Renjun hanya diam.

“Nih, uang jajan. Besok harus sekolah, ya. Nggak boleh bolos lagi! Aku punya mata–mata buat mantau kamu, awas aja kalau nggak sekolah, aku coret nama kamu dari kartu keluarga!”

Renjun terkekeh kecil, lalu mengangguk kecil.

“Ya udah, aku pulang,” kataku sambil berbalik. “Kalau uangnya habis, bilang Jun.”

“Makasih, ce,” samar–samar terdengar suara Renjun yang berkata seperti itu.

Sudah kuniatkan dalam hati, aku nggak boleh berbalik lagi dan memeluk Renjun. Rasanya dadaku sesak, tapi aku nggak mau menangis di depan Renjun. Memalukan!

“Ayo Om,” kataku sambil menarik tangan Om Taeyong.

Saat sudah cukup jauh dari kawasan tempat kost tadi, aku nggak bisa menahan diri lagi. Aku menangis sejadi–jadinya, bahkan di depan Om Taeyong sekalipun. Ah, masa bodoh, aku kan udah nggak punya muka lagi di depan Om Taeyong.

Om Taeyong hanya menghela nafas, lalu menarik tanganku. “Nangisnya di mobil aja, nggak malu nangis di jalan?”

Aku nggak menggubris ucapan Om Taeyong, masih sesenggukan efek menangis. Bahkan sampai di mobil sekalipun, aku masih menangis, tapi tidak separah tadi.

“Udah?” tanya Om Taeyong.

Tanpa menunggu jawaban dariku, Om Taeyong lebih dulu mengusap pipiku yang basah oleh air mata dengan kemeja yang dia pakai. Setelah itu, tanpa kusuruh juga Om Taeyong merapikan rambutku yang menempel di wajah akibat air mata.

“Kenapa nangisnya baru sekarang, nggak pas ada Renjun biar dia ikut pulang?” tanya Om Taeyong.

Aku menggeleng, lalu berujar pelan. “Malu.”

“Nangis di depan saya, nggak malu?”

Aku menggeleng lagi, kali ini lebih pelan.

“Kenapa?” tanya Om Taeyong sambil menatapku. Dan tatapannya, sialan— r.i.p jantungku.

“Karena aku suka sama Om.”

Mati aja kamu, Jian!

✨✨✨

[2] Marriage | Lee Taeyong ✔️  [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang