Chapter 02

6.6K 200 42
                                    

Washington DC
Forks City































Gadis cantik dengan kaos oblong dan celana pendek selutut itu nampak fokus dengan ikan-ikan incarannya. Ia berdiri di atas batu besar di tengah sungai dengan sebuah tombak di tangannya.

Stab!

“Yeah!” dan pekikan cerianya muncul saat ujung benda runcing itu berhasil menembus dua ikan besar sekaligus.

“Dimitri Ruby Jéan, kau harus mentraktirku makan di kantin kampus selama sebulan penuh. Hahaha.”

Merasa namanya disebut-sebut, seorang pemuda tampan lantas menyembulkan kepalanya dari dalam sungai dan melotot melihat adiknya berjingkrak-jingkrak di sana.

“Artemis, jangan curang! Aku tahu kau pasti sengaja menancapkan dua ikan itu demi dapat traktiran dariku kan?”

“Enak saja! Aku menombaknya sendiri, tahu! Kau pikir hanya kau yang pandai menombak? Aku juga bisa!”

“Tapi aku tidak melihatnya secara langsung, berarti itu tidak sah!”

“Bodo amat! Yang jelas aku menang taruhan dan kau harus mentraktirku makan seperti yang sudah kau janjikan. Ayolah, laki-laki sejati itu tak pernah ingkar janji.”

Dimitri menyugar rambut basahnya ke belakang. Tahu seperti ini ia tidak akan menantang Artemis untuk menombak ikan lebih dari satu dalam sekali tembakan. Adiknya itu ternyata hebat juga walaupun ia yakin 99% adalah faktor keberuntungan.

“Baiklah, Temis. Kau menang. Aku akan menepati janjiku karena aku lelaki sejati.”

“Hahaha. Kau tambah tampan kalau seperti ini, Di.”

“Ya ya ya, ayo kita pulang! Matahari sudah mulai terbit dan aku mulai kedinginan berenang dari jam empat subuh demi mencarikanmu ikan dan udang.”

Kakak yang baik.



































.

.

.

“Jennie, Dimitri dan Artemis tidak pulang semalaman?”

Jimin berjalan ke dapur menghampiri istrinya yang kini sibuk dengan mesin cuci, sekalian menaruh gelas dan piring kotor bekas sarapannya di wastafel.

“Tidak, Jim.”

“Ck! Mereka berdua itu betah sekali kalau sudah bermain di pemukiman kaum serigala di pedalaman hutan, sampai lupa waktu begini. Kebiasaan!”

Jennie hanya memutar bola matanya malas. Jimin selalu saja misuh-misuh kalau kedua anaknya tidak pulang semalaman begini, meskipun ia tahu Artemis dan Dimitri berada di pemukiman kaum serigala yang mana adalah pemukiman kaumnya sendiri, tapi tetap saja ia khawatir.

“Sudahlah, Jim. Mereka punya banyak teman di sana, wajar kalau mereka betah.”

“Tapi Artemis itu wanita! Dia keluyuran malam-malam dan bagaimana kalau ada yang memperkosanya?!”

Jennie melongo mendengar isi pikiran jelek Jimin. Tapi di sisi lain semua itu ada benarnya juga. Jimin khawatir kepada anak perawannya dan itu sangatlah wajar.

“Dia bersama kakaknya, Jim. Dimitri tidak akan segila itu membiarkan adiknya kenapa-kenapa. Sudahlah, sebentar lagi pasti mereka pulang. Mereka kuliah pagi ini.”

Jimin tidak menjawab lagi. Ia malah membuka lebar-lebar pintu belakang, mata segarisnya fokus menatap ke arah bibir hutan yang gelap, menanti Dimitri dan Artemis yang bisanya akan muncul dari dalam sana.







































.

.

.

Sementara itu di pedalaman hutan, nampak dua ekor serigala sebesar kuda dengan warna bulu putih bersih berlari melesat menyusuri gelap dan rindangnya pepohonan. Salah satu di antaranya terlihat menggigit sebuah kantong di mulutnya.

Setelah dirasa sudah cukup dekat dengan pemukiman, kedua serigala besar itu lantas bertransformasi ke dalam wujud manusianya. Menjadi dua makhluk kembar namun tidak mirip yang beberapa waktu lalu rusuh menangkap ikan di sungai subuh-subuh.

“Di, perasaanku tidak enak.”

“Kenapa memangnya?”

Telunjuk Artemis terangkat. Dimitri yang penasaran itu mengikuti arahnya pelan-pelan dan ia terperanjat melihat nun jauh di sana ada sosok Jimin sedang berkacak pinggang.

“Temis, ternyata Papah imut ya kalau dilihat dari jarak sejauh ini?”

“Aish! Kau ini!”

Artemis meraih kantong berisi ikan-ikan hasil tangkapannya itu lalu berjalan meninggalkan Dimitri dengan pikiran randomnya pagi-pagi. Ia yakin, ayahnya itu pasti akan mengomel.

“Kau ini kenapa tidak pulang? Rumahmu itu di sini, bukan di dalam hutan sana!”

Tuh, kan? Benar saja dugaannya.

“Aku habis mencari ikan di sungai, Pah. Ini, aku dapat banyak.”

“Mencari ikan semalaman, huh? Kau itu anak Papah, bukan nelayan! Apa-apaan mencari ikan sampai semalaman?!”

“Jimin, sudahlah!” Jennie ikut nimbrung karena intonasi suaminya itu mulai meninggi. “Anakmu sudah berada di hadapanmu sekarang, apa lagi yang kau inginkan?”

“Maaf, Pah, Mah. Aku tidak akan seperti itu lagi, janji.”

Artemis mengangkat telunjuk dan jari tengahnya membentuk v-sign, Dimitri yang berdiri di sampingnya pun ikut-ikutan.

“Iya, Pah, Mah. Aku juga minta maaf. Artemis tidak aku bawa ke tempat yang aneh-aneh kok. Aku bersumpah!”

Jennie mengangguk. “Iya, sudah. Ayo masuk. Kalian mau makan apa? Nanti Mamah buatkan.”

Anak perawan Park itu langsung berbinar. “Aku mau ikan goreng, Mah! Ini sudah aku bawakan, tinggal digoreng saja.” ia pun menyerahkan kantong itu kepada Jennie lalu menghampiri Dimitri yang sedang minum di depan kulkas.

“Jangan bilang kalau kau menombak lagi, Artemis?” todong Jimin dan yang bersangkutan memberikan anggukan semangatnya.

“Astaga, kau itu anak gadis! Kalau kau mau ikan, Papah bisa membelikannya untukmu.”

“Tapi yang diambil langsung dari sungai itu lebih segar, Pah.” elaknya sambil melengos pergi. “Sudah ya, aku mau mandi dulu. Bye!”

Jimin menghela nafas lelah akan kelakuan anak perawannya itu. Namun belum sampai di sana, sekarang ia dikejutkan dengan Dimitri yang tiba-tiba membuka kaosnya di hadapan mereka berdua.

“Mamah mau mencuci kan? Aku menitip kaosku ya, Mah? Agak kotor.”

“Iya. Celananya tidak sekalian, Di?”

“Mamah mau aku buka celana di sini?”





































.

.

.

TBC

Amor Maledicti || VKook ft. YeonRina [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora