(10)

19.3K 1.9K 103
                                    

"Kakak udah mikirin ini lama, ini yang terbaik untuk kita!" Dan Kak Ken terlihat sangat serius dengan ucapannya.

"Kasih aku alasan kenapa kita harus punya momongan sekarang?" Semua tindakan Kak Ken selalu punya alasan dan gue mau tahu alasan Kak Ken ngomong kaya gini itu apa.

"Sekarang atau nanti, tetap kamu Ibunya dan Kakak Ayahnya."

"Apa Kakak yakin itu alasannya? Kenapa harus sekarang? Itu pertanyaan aku." Gue bahkan mulai menatap Kak Ken dengan tatapan khawatir.

Bukannya bahagia, jujur gue malah takut dengan permintaan Kak Kendra sekarang, bukan karena gue nggak mau Kak Ken yang jadi Ayah dari anak-anak gue nanti, ucapan Kak Ken tadi juga nggak salah, karena mau sekarang atau nanti, tetap Kak Ken orangnya tapi tatapan yang Kak Ken perlihatkan sekarang adalah tatapan terluka, tatapan yang pernah gue lihat sewaktu Mas Kenzi meninggal dulu.

"Aku belum siap Kak, maaf." Ini adalah jawaban gue untuk sekarang, kenapa cuma untuk sekarang? Karena gue akan mikir ulang permintaan Kak Ken setelah tahu sebebernya alasan Kak Ken minta hal kaya gini apa.

"Semuanya semakin berat Ri." Kak Ken maju dan memeluk erat tubuh gue untuk pertama kalinya.

.

Setelah ucapan Kak Ken kemarin, gue sama sekali nggak bisa mikir dengan alur pemikirannya suami gue, Kak Kendra nemuin strategi hidup modelan maksa kaya gitu dimana?

Ya memang gue nggak bisa bilang itu paksaan karena Kak Ken tetap menanyakan izin gue untuk melakukannya, setiap kali gue mikirin kalimat Kak Ken yang kemarin, otak gue rasanya ngestak ditempat, nggak tahu harus gimana.

Memang nggak ada salahnya Kak ken minta kaya gitu, itu memang haknya, kalaupun gue ngadu sama Bunda atau keluarga, jawabannya juga udah jelas ngedukung Kak Kendra tapi gue tetap nggak bisa terima dengan permintaan Kak Ken.

"Dek, kemarin pulang sama siapa?" Tanya Mas Ian yang udah berdiri diambang pintu.

"Mas, Rian mau nanya." Bukannya ngejawab gue malah natap Mas Ian dengan tatapan berkaca-kaca gue.

Nggak tahu apa yang salah tapi gue terus aja kepikiran sama permintaan Kak Kendra, tatapannya beneran ngebuat gue khawatir, gue takut kalau pilihan gue nolak malah ngebuat Kak Kendra jadi semakin aneh.

"Hei, kenapa Dek?" Melihat tatapan gue yang berkaca-kaca, Mas Ian juga sama khawatirnya.

"Mas, apa Kak Kendra lagi punya masalah?" Tanya gue begitu Mas Ian mendudukkan tubuhnya diranjang.

"Kenapa kamu nanya kaya gitu? Kalian punya masalah?" Gue sendiri bingung, apa bisa itu dianggap masalah?

"Aku juga nggak tahu Mas, Kak Ken terus bukin aku khawatir, sikap Kak Ken aneh, mungkin Mas tahu sesuatu?"

"Aneh gimana?"

"Kak Ken tiba-tiba aja nanya momongan, aku masih muda banget Mas, masuk kuliah aja baru, masa harus cuti, permintaannya nggak masuk akal menurut aku." Dadakan pula, itu nggak bisa gue terima.

Gue pikir Mas Ian bakalan kaget sama ucapan gue atau bahkan tertawa nggak jelas buat ngeledekin tapi reaksinya beneran diluar dugaan, Mas Ian malah natap gue lama kaya orang ikut mikirin sesuatu.

"Jangan terlalu dipikirin, lebih baik sekarang kamu istirahat, besok kuliah pagikan?" Gue mengangguk pelan, Mas Ian mengusap kepala gue sekilas dan keluar kamar gue itu aja, sikap Mas Ian malah tambah bikin gue mikir aneh mencurigakan.

Masalah ajakan Kak Kendra pindah minggu depan juga jadi pemikiran gue, kalau untuk pindah, gue udah milih setuju, gue juga udah ngasih tahu keluarga masalah keinginan gue sama Kak Ken pindah, walaupun awalnya Bunda sedikit keberatan tapi berkat diyakinkan sama Mas Arya dan Mas Ian akhirnya Bunda setuju.

.

Besoknya gue kuliah dan balik narik nafas jengah sama Lily, bukan tanpa alasan gue bersikap kaya gini tapi sikap Lily yang seakan nggak punya rasa bersalah sedikitpun ke gue ngebuat gue muak, penilaian gue untuk Lily beneran meleset jauh.

"Ri, lo kenapa? Marah sama gue?" Tanya Lily menggandeng lengan gue seperti biasa.

"Iya, gue harus jujur, gue nggak bisa sama sikap lo yang menilai orang seenak hati lo gini Ly, siapapun orangnya dan bagaimanapun cara berpenampilannya, setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang sama, apa nggak bisa lo mikir kaya gini?" Gue berusaha jujur.

"Iya gue minta maaf, gue akan coba berubah, serius, suer jadi lo jangan marah lagi sama gue ya, iya gue ngaku, gue yang salah." Walaupun terlihat kurang tulus tapi gue menghargai usahanya.

"Heummm, kali ini gue maafin, harusnya lo minta maaf juga sama Kak Ken, yang lo katain itu dia." Dan Lily memanyunkan bibirnya dengan ucapan gue.

"Kenapa? Nggak mau?"

"Mau mau mau, yaudah ayo tar selesai kelas Pak Azzam gue minta maaf, puas lo?"

"Nah gitu kan enak gue dengernya." Lily beneran harus minta maaf.

Selesai kelas, gue beneran nemenin Lily nemuin Kak Ken untuk minta maaf, sebelumnya gue juga udah ngechat Kak Ken nanya dia dimana jadi nggak usah muter-muter lagi buat nyari tu orang.

"Lo yakin Kak Ken disini?" Tanya Lily nggak yakin begitu gue ngajak dia jalan ke kantin.

"Banyak nanya lo, tu orangnya, buruan minta maaf." Mendorong tubuh Lily pelan, kita berdua berdiri tepat dihadapan Kak Kendra yang lagi-lagi sibuk dengan buku bacaannya.

"Kak Kendra." Panggil Lily pelan.

"Kecil amat volume suara lo, biasanya kaya toa."

"Kak Kendra Adipati Darma." Ulang Lily yang membuat gue sedikit menyunggingkan senyuman.

Mendengar namanya disebut, Kak Ken menutup buku bacaannya dan sedikit kaget mendapati kehadiran Lily, gue yang nemuin mah udah biasa.

"Lily mau minta maaf Kak." Cicit Lily menjulurkan lengannya.

"Heummm!" Kak Ken mengangguk pelan dan kembali fokus dengan bukunya, hah? Udah segitu doang? Wah kacau suami gue.

Gue kirain Kak Ken bakalan ngintrogasi ya setidaknya nanyalah Lily minta maaf untuk apa, sikapnya kaya orang udah tahu aja kalau Lily salah karena ngatain dia dibelakang, nggak habis pikir gue.

"Udahkan? Kaku banget ni orang Ri, kok bisa lo suka?" Lily natap gue cengengesan dan kabur, wah baru juga minta maaf udah ngatain lagi tapi kali ini gue nggak bisa nyalahin Lily sih, kenyataannya memang  begitu.

"Kakak bener-bener." Gue ngambil posisi duduk disebelah Kak Kendra dan mulai ngotak ngatik handphone, semuanya hening sampai suara jelek seseorang ngerusak pendengaran gue.

"Hai baby? Ngapain sama si kutu buku?" Boleh gue tampol nggak muka orang yang nanya barusan?

"Mau apa?" Tanya gue ketus.

"Mau Kakak masih sama, hati kamu." Saraf ni orang, ngomong apaan dia didepan Kak Ken? Kalau Kak Reza tahu Kak Ken itu siapa gue, abis tu orang.

"Baby, mau jalan?" Dan tepat saat Kak Reza berniat narik tangan gue, Kak Ken melemparkan bukunya yang sukses ngebuat gue sama Kak Reza kaget barengan.

Kak Reza yang terlihat kesal, mungut buku Kak Kendra barusan dan mendekat ke arah Kak Kendra berdiri sekarang, Kak Reza punya masalah apa sama gue? Ngacau mulu kerjaannya.

"Maksud lo apa ngelempar buku ke arah gue, culun?" Kak Reza nepuk bahu Kak Ken kasar.

"Jangan sentuh milik gue!" Kak Kendra juga narik kasar bukunya ditangan Kak Reza dan natap gue beberapa detik sebelum berjalan menjauh lebih dulu, gue nunggu apa lagi? Ya kabur ngejar suamilah.

Married with My Senior (END)Место, где живут истории. Откройте их для себя