8 - Egois

986 101 15
                                    

"Kamu masih menyukai Mark?" tanya Mean blak-blakan pada Plan.
"Ada apa tiba-tiba tanya begini?" tanya Plan tidak suka, apa yang ingin ditahu oleh Mean sekarang?

"Aku ingin tahu perasaanmu." jawab Mean dengan lembut.
"Masih, tidak pernah berubah." jawab Plan sambil menunduk.
"Lalu kenapa tidak mau jujur padanya?" tanya Mean.

"Dia menyukai orang lain." kata Plan sadar diri.
"Itu karena kamu munafik." jawab Mean dengan ketus. Plan terdiam, tidak membantah, toh Mean benar.

"Jika kamu menyukai dia, perjuangkan rasamu dengan mengungkapkan padanya, jangan berdiam seperti orang bodoh disampingnya saja." kata Mean muak pada perasaan Plan.

Ia hanya benci melihat orang yang ia sayangi memendam rasa yang sesakit itu.

"Aku tidak bisa." kata Plan.

"Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri, kamu tidak memikirkan perasaan Mark ataupun aku." kata Mean dengan perasaan sakit hati. Ia juga mencintai Plan yang malah jatuh cinta pada Mark.

Mean tidak marah Plan malah suka orang lain, ia hanya benci Plan bersifat munafik.

"Kamu tahu ada aku disini, aku juga menyukaimu, dan kamu juga sudah mendengar pernyataan perasaanku. Dan aku hargai perasaanmu yang malah menyukai Mark, tapi tolong jangan sakiti dirimu sendiri. Atau aku harus pergi dari kalian agar aku tidak melihatmu terus terluka?" tanya Mean frustasi.

"Jangan begitu, aku hanya punya kamu dan Mark, kalau nggak ada kamu, aku..." Plan terhenti saat melihat Mean menatapnya dengan perasaan terluka.

"Jangan meminta seseorang untuk tinggal, jika kamu tidak bisa bersikap lebih baik dari ini." Mean pun berbalik arah, matanya memanas.

Hatinya sakit memutuskan untuk menjauh dari dua sahabatnya. Namun ia bisa apa? Ia tidak sanggup berada dalam cinta segitiga memuakkan dimana Plan terus munafik dan berada disisi Mark tapi tidak mau memikirkan perasaan Mean.

Ia muak.

"Apa kamu akan terus bersikap sama seperti masa lalu? dan membiarkan kamu terluka sendiri saat Mark bersama Perth?" tanya Mean sekali lagi.
"Aku tidak apa, aku bahagia jika Mark bahagia." kata Plan.

Mean tertawa hambar.

"Sekali saja aku tanya, apa yang kamu harapkan dari perasaanmu untuk Mark?" tanya Mean tajam. Nadanya tidak lembut sama sekali, sungguh berbeda dengan dulu bagaimana ia bersikap pada Plan.

"Aku hanya ingin dia bahagia meski tidak denganku." kata Plan ragu.

"Plan, ini bukan Fanfiction dimana kamu adalah peran utama, perasaanmu, pengorbananmu, itu bukan karena kamu mencintai Mark, tapi kamu egois, kamu mengorbankan perasaanmu, perasaanku, demi keegoisan agar Mark tidak menjauh darimu. Otakmu dimana?" tanya Mean dengan sarkas.

"Mengapa kamu menilaiku seperti itu?" tanya Plan tidak terima.

"Setiap orang berhak mencintai, setiap orang berhak memperjuangkan. Tapi kamu tidak pernah jujur padanya hanya karena takut ia menjauh. Hey Plan, memangnya Mark itu seperti apa? apa dia sahabat brengsek yang akan meninggalkanmu begitu saja?" tanya Mean membuat Plan tertohok.

"Jika ini Fanfiction, kamu mungkin akan mendapatkan Mark nantinya, tapi ingat kamu bukan pemeran utama, kamu hanya figuran jika kamu hanya terus bersifat semunafik ini. Aku kasih kamu 3 pilihan dan kamu harus melakukan salah satunya." kata Mean dengan tegas.

Plan menatap Mean dengan mata memanas.
Mean yang sekarang kejam sekali ternyata.

"Apa pilihannya?" tanya Plan.

"Yang pertama aku yang bilang ke Mark soal rasamu, yang kedua kamu sendiri yang bilang, atau yang ketiga aku yang akan pisahkan Perth dari Mark demi kamu." kata Mean dengan tegas.

Plan terdiam.

Pilihan yang tidak ada bagusnya.

"Kenapa harus bawa Perth?" tanya Plan tidak mengerti.

"Karena aku tidak mau Perth jadi alasan kamu bersembunyi lagi." kata Mean dengan penegasan.
Ia tidak mau ada yang berkorban lagi, cukup dia dimasa lalu.
Tidak lagi.
Apalagi jika harus Perth yang berkorban.
Mean tidak akan bisa terima.

"Tapi ini perasaanku, aku tidak butuh siapapun harus berkorban, aku tidak menyuruhmu pergi dan sekarang aku tidak ingin mengorbankan Perth." kata Plan menolak memilih pilihan itu.

"Lalu apa kau akan mencoba membunuh perasaan itu lagi? tidak bisa kan? perasaan itu akan terus tumbuh jika kamu hanya memilih memendam." kata Mean membuat Plan terdiam tidak menjawab sama sekali.

"Tentukan pilihan diantara tadi, jika tidak aku yang akan memilihkannya untukmu antara pilihan pertama atau pilihan ketiga." kata Mean lalu berbalik meninggalkan Plan yang ingin menangis.

Plan berlari memegang lengan Mean.

"Kenapa kamu melakukan ini ke aku? ini hatiku, ini perasaanku, siapa kamu yang harus menentukan pilihanku?" kata Plan marah, dadanya terasa sesak, mengapa satu-satunya orang yang mengerti diri dan perasaannya kini berbalik menginginkan dia membunuh perasaannya sendiri.
"Karena aku tidak ingin menyakitimu juga Perth." kata Mean sambil menatap wajah Plan yang memerah karena amarah.

"Perth? Apa perasaan dia lebih penting dari perasaanku? aku kira kamu satu-satunya yang mengerti aku, kini apa semuanya sudah berubah?" tanya Plan meminta penjelasan.

"Perth tahu perasaanmu pada Mark, aku tahu dia pasti akan memilih mengorbankan perasaannya demi kalian. Dan aku tidak mau dia seperti itu. Jika kamu tidak bisa memperjuangkan, maka bunuh rasa itu, seperti aku yang membunuh rasaku padamu." kata Mean dengan tegas.

Plan tertegun, ia tak bisa berkata apa-apa lagi.

"Tidak ada kebahagiaan tanpa duka bagi orang lain, itu memang perasaanmu, tapi jangan jadikan itu sebagai luka bagi orang lain. Cukup aku, jangan Perth." Mean pun melangkah pergi, dan Plan menutup wajahnya, ia menangis, mengapa ia baru sadar bahwa dirinya seegois ini?.

...

"Kamu kenapa diam saja dari tadi?" tanya Mark saat berduaan dengan Perth ditaman sepulang kuliah.
Perth menggeleng.
"Nggak kok, aku hanya sedang merasa ingin jadi pendiam." kata Perth sambil tersenyum.

Mark tertawa mendengarnya, lalu ia mengacak rambut Perth dengan sayang.

"Kamu ini, semakin kulihat mengapa semakin manis sih? Aku jadi gemes." kata Mark sambil menatap wajah imut Perth.

Perth tertawa menanggapi Mark.

"Modus terus kamu Phi." ejek Perth.

"Aku beliin gula kapas dulu yah, tunggu disini jangan ngilang." kata Mark sambil menepuk pipi Perth lalu melangkah pergi menuju penjual Gula Kapas.

Perth memandangnya dengan senyuman.

"Bagaimana ini Phi? sepertinya aku semakin menyukaimu, lalu bagaimana jika aku akan menjadi egois untuk berada disisimu sedangkan ada Phi Plan yang mencintaimu lebih dulu? Aku harus apa?" batin Perth dilema.

Jika tidak sanggup menanggung rasa, maka ada baiknya dibunuh sedari awal, namun bagaimana jika rasa itu seperti sel kanker yang susah dibasmi?

"Ini untuk kamu, tapi inisih kalah manis sama senyum kamu Nong." kata Mark sambil tersenyum.
"Bisa ajah, terimakasih Phi." kata Perth.
Keduanya pun memakan gula kapas sambil menatap air danau yang jernih.
Mark tidak akan pernah melepaskan pria disampingnya ini, karena Perth sudah menjadi alasan bagi Mark untuk bahagia. Karena Perth, harinya tidak lagi hampa, senyum Perth saja sudah sanggup mengalihkan dunianya.

Begitu istimewa seorang Perth baginya.

Manis, dan sekaligus indah.

Keduanya saling mengenggam tangan satu sama lain.
Berharap hari kedepan akan semakin membuat keduanya dekat.
Tanpa adanya jarak atau alasan untuk menjauh.

...

TBC

...

Heartbeat (MP - End)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu