Prolog

3.8K 327 7
                                    

Author POV

Sambutlah pagimu dengan senyuman, maka harimu juga akan menyenangkan. Itulah motivasi seorang Aprillya Khanzara setiap harinya. Bahagia tidak bahagia, bukankah tidak perlu terlalu dimunculkan ke permukaan?

Enam bulan sudah berjalan dengan penuh cerita. Entah itu tentang kuliah, deadline yang saling berkejaran, keluarga, dan romansa percintaan dengan ribut-ribut kecil yang sudah sangat biasa.

"Ara berangkat, ya, Bun?"

Lisa mengangguk setelah tangannya dikecup Prilly. "Pangeran Kit gimana?" Kemudian Lisa bertanya sedikit berbisik.

"Nunggu di ujung gang," balasnya.

"Tega banget kamu, Kak. Pagi-pagi gini, kan, suka banyak waria pulang kerja. Abis deh pasti di grepe-grepein," omel Lisa. Prilly tertawa kecil. Bukannya cemburu, ia malah membayangkan wajah masamnya yang pasti terlihat lucu.

"Aman kok, Bunda," ujarnya. "Bunda baik-baik, ya. Nggak perlu ngantar aku sampai depan." Ia berpesan sebelum pergi.

"Iya, hati-hati. Salam buat pangeran Kit, ya." Prilly memutar bola mata malas kemudian berlalu keluar. Panggilan itu sepertinya sudah melekat untuk seseorang yang sudah bermuram durja di ujung gang sana. Ia harus segera bergegas.

"Nggak dijemput?" tanya seseorang yang duduk di teras sambil membaca koran. Prilly hanya menggeleng tanpa menatap lawan bicara sedang dari dalam Lisa masih memerhatikan keduanya.

"Naik apa?"

"Angkot." Ia lantas pergi setelah menjawab pertanyaan itu. Langkahnya seperti rusa buruan yang nyawanya terancam. Barulah setelah sudah benar jauh dari rumah ia memelankan langkahnya dan berbalik memastikan kalau tak diikuti.

Nafas yang tadinya tertahan, berhembus panjang, seraya meraih cepat tas punggungnya mencari sesuatu sambil terus berjalan.

"Berangkat kuliah, Neng?"

Prilly mengangguk dengan senyum singkat menjawab tanya ibu-ibu daerah tempat tinggalnya yang tengah berbelanja sayur mayur. Di ujung gang sana terlihat sosok laki-laki jangkung, berpenampilan keren sedang duduk di atas kap mobil Lamborghini hitam. Mobil baru.

"Ih, mana sih?" Ia masih menggeledah tas. "Kebiasaan ngelihatinnya kayak macan belum sarapan." Kemudian mengumpat melihat sosok di ujung gang sana yang menatapnya tak biasa walaupun matanya tersembunyi dibalik kacamata hitam.

"Nah, dapat!" Ia langsung mengenakan benda itu di jari manisnya dan tersenyum saat sudah dekat beberapa langkah dengan sosok itu.

"Pagi!" sapa Prilly ceria, seraya tersenyum lebar.

"Jadi maksudnya apa?" tanya seseorang itu tanpa membalas ucapan selamat paginya.

"Maksud apa?" tanya Prilly heran.

"Aku di suruh nunggu di sini," jelasnya.

"Biar aku jogging. Kamu, kan tahu aku udah jarang olahraga, nggak diet pula karena nggak boleh sama kamu. Aku takut aja gendut ..." Ia beralasan.

"Takut gendut?" ulangnya memastikan. Prilly yakin Ali sudah kesal, buktinya ia membuka kacamatanya menatapnya aneh.

"Iya, emang salah?"

"Nggak, kamu aneh!"

"Aneh apa sih, Li? Namanya juga cewek."

"Cewek apaan sih? Ya itu cewek-cewek mereka. Cewek aku bukan yang kayak gitu, kan?"

"Sekarang aku kayak gitu," balas Prilly tak mau kalah.

"Kamu kena—"

"Hai, ganteng," potong suara yang membuatnya merinding sejak menunggu di sini. Suaranya yang seperti ular kejepit pintu dan penampakannya yang kurang berakhlak ... rasanya Ali ingin muntah sekarang juga. Belum lagi saat jari telunjuknya menjawil dagu mulus Ali membuat si empunya semakin beringsut sembari merapalkan kata, 'pait-pait-pait' dalam hati.

"Heh!" sentak Prilly, seraya menghempas tangan laki-laki setengah perempuan itu agar enyah dari dagu Ali.

"Eh berani sentuh-sentuh eyke!?" pekiknya sungguh berlebihan. Ciri khas mereka.

Prilly melotot. "Satpol PP!" teriaknya kemudian menunjuk ke belakang bermaksud mengelabuhi.

Mendengar itu, buru-buru ia melepas highells-nya yang sebenarnya sangat membanting kaki kulinya kemudian lari terbirit-birit. Mereka belum punah-punah juga ternyata. Pikir Prilly.

Ali mengelus sisi kiri lehernya berkali-kali. Dia sangat trauma dengan banci kaleng seperti mereka. Maka dari itu ia cepat-cepat menyuruh Prilly masuk ke dalam mobil sebelum datang banci kaleng yang lainnya.

"Punya opsi nunggu di dalam mobil kenapa harus nunggu di luar sih?"

"Kok jadi aku yang salah? Eh, alasan—"

"Kalau terus bahas ini kita bisa telat ke kampus," sela Prilly lembut. Ali biasanya akan luluh kalau dilembutin.

"Udah dong, ini masih pagi ... nggak baik marah-marah. Nanti gantengnya hilang," rayu Prilly.

Akhirnya, Ali mengalah. Dia tidak ingin juga terlambat di kelas pak Doni dan berakhir dengan membuat makalah minimal 100 halaman dalam waktu 2 hari. Terakhir, ia membuat makalah 150 halaman dan esoknya demam dan muntah-muntah.

Sebenarnya ia masih ingin berdebat tentang sikap Prilly pagi ini. Bukan ia tidak suka mengalah dan lebih memilih berdebat. Tapi, pagi ini Prilly sangat aneh. Pagi-pagi buta sudah menelepon dan tidak biasa menyuruhnya menunggu di ujung gang dan mengancam yang tidak-tidak kalau tak menuruti perkataannya.

Bisa apa seorang bucin seperti Ali selain menurut?





Powerpoint in Love 2 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang