33. Hidden Job

984 204 30
                                    

Author POV

Ali keluar dari ruangan kajur sebelum jam makan siang. Ia langsung tidak ingat apa yang dikatakan kepala jurusannya itu karena terlalu banyak. Setelah Sabtu lalu Aiko yang dipanggil, sekarang gilirannya. Aiko turut dipanggil juga. Mereka berdua dipertemukan lagi setelah insiden tiga hari yang lalu. Entahlah, Ali hanya menerima jabatan tangan Aiko dan beberapa yang menjadi tersangka tanpa mau memusingkan atau mempertanyakan ketulusan mereka yang meminta maaf atas instruksi kajur dan jajarannya yang ada di ruangan itu, termasuk coach Rudi.

Sedangkan, tidak ada yang berubah dari cara berjalannya. Alih-alih membaik, kakinya justru semakin sakit, semakin linu tiap dibawa melangkah. Dan bukan tidak mungkin esok kaki kirinya ini akan lepas dari tempatnya.

Matahari tepat berada di atas kepala Ali saat laki-laki itu berjalan menuju keluar gedung kampus. Sudah tahu jam makan siang, tapi bukan kantin tujuannya. Saat batinnya bertanya akan kemana, pasti akan menjawab tidak tahu. Tapi ia pasti akan kembali setelah jam makan siang untuk masuk ke kelas terakhirnya hari ini.

Laki-laki itu menoleh ke belakang saat mendengar ada suara lain yang mampu menembus lagu-lagu yang terdengar dari buds yang tersumpal di kedua telinganya. Ia melepaskan satu buds-nya begitu melihat sosok yang berlari-lari ke arahnya.

"Ya elah gue panggilin dari gedung B sombong banget!" sungutnya dengan napas terengah-engah, seraya membungkuk dengan kedua tangan bertopang di kedua lutut.

"Mentang-mentang kita beda gedung, lupa lo sama gue?" sungutnya lagi. Tangannya sudah merangkul bahu Ali, sehingga mau tak mau ia mengikuti kemana Mara akan membawanya.

"Gak kedengeran," balas Ali.

"Hehe kangen gue sama lo. Sehat, kan? Sorry kemaren gue gak bisa nyamperin, keburu tribun dibubarin sama panitia."

Ali mengangguk samar. "Aman."

"Jangan sok kuat. Jalan lo aneh gitu. Mau gue anterin ke kang urut langganan engkong gue gak? Dijamin pegel linu, tulang patah, keseleo, sembuh total!"

"Thanks." Sepersekian detik Ali mengernyit, lalu menyuarakan sebuah protes, "Kenapa ke sini? Gue mau balik."

Ali baru protes saat Mara terlanjur membawanya ke kantin. Bodohnya Ali menurut saja saat terus dirangkul sampai tidak sadar mereka melangkah sampai ke kantin.

"Lah gak sadar. Udah lah, ngobrol-ngobrol dulu," kata laki-laki itu santai. Mau tidak mau Ali duduk juga karena terus dipaksa.

"Jadi gimana?"

"Apanya?"

"Yang kemaren."

"Percaya aja sama 'katanya' orang-orang."

"Gue gak terlalu kenal ya sama si Aiko, tapi karena adek kembarnya ini pernah di Lyra—walaupun gue gak pernah sekelas, gue lumayan tau lah mukanya. Gue sama dia juga pernah bareng di Pramuka setahun kepengurusan."

Mara memang pribadi social butterfly, ke semuanya, dalam artian tidak melihat gender. Ia dekat dengan semua orang mau itu laki-laki atau perempuan. Sedikit berbeda dengan Ali. Sebenarnya Ali juga tidak berbeda jauh dengan Mara. Tapi, ia cenderung lebih membatasi itu. Malah lebih ke sesama lelaki jika bergaul. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika dirinya tidak memiliki batasan seperti Mara, karena sudah punya batasan saja tetap ada hal-hal yang kurang mengenakkan seperti ini. Ia tidak pernah mengenal siapa itu Bila, yang ternyata adik kembar Aiko. Dan ia harus menanggung semua permasalahan yang berakar dari perempuan itu yang bukan kesalahannya?

"Menurut gue nih ya, kurang make sense—"

"Gue juga ngerasa gitu," sela Ali.

"Bentar, gue belum selesai."

Powerpoint in Love 2 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang