43. Holding on The Clothes

804 190 17
                                    

Author POV

Pada akhirnya Wira lah yang dituntut pertanggungjawaban di sini. Padahal yang sudah berulah Delta. Tapi, siang ini di depan ruang IGD, dia lah yang secara spontan ditunjuk sebagai wali Ali saat ditanya oleh dokter yang menanganinya di dalam.

"Ada gangguan di pernapasannya," kata sang Dokter. Dengan dahi berkerut, seraya membaca notulensi dari suster yang mendampinginya.

Wira tak mengerti. "Gangguan gimana, Dok? Dia nggak punya riwayat asma."

"Masih dini," balas Dokter dengan pembawaannya yang tenang. "Kami merekomendasikan inhaler, mungkin bisa dipertimbangkan oleh pihak keluarganya."

Tiga pemuda yang ada di sana tak bisa berkata-kata saking tidak percayanya. Dokter ini bisa saja keliru, pikir mereka.

"Semuanya akan baik-baik saja kalau orang-orang di sekitarnya pintar menjaga emosinya. Benahi gaya hidup jadi yang lebih sehat... selain itu, untuk sementara ini kami hanya bisa menyampaikan kalau pasien kelelahan, stress berat dan depresi. Kalau boleh kami tau, apa kegiatan pasien sehari-hari?" lanjut Dokter itu bertanya.

"Kuliah," jawab Wira.

Dokter itu mengangguk paham. "Mungkin bisa mengambil izin atau cuti sementara untuk istirahat dan konsultasi kejiwaan."

"Temen saya nggak gila, Dok!" Delta menyuarakan protes tidak terima.

"Kami melihat beberapa gejala saat pasien kehilangan anestesi. Dia sempat meracau, tertawa, menangis, juga mengalami serangan panik," katanya.

"Nggak mungkin lah, Dokter," protes Delta, seraya tersulut emosi. Padahal itu jobdesk Fitra, tapi sekarang Fitra yang justru menenangkannya.

"Hanya konsultasi biasa. Begini, nanti setelah semua hasil lab-nya keluar, kita bicarakan lagi, ya?" ujar Dokter sebelum berpamitan pergi.

"Gak jelas dokternya. Segala mention kejiwaan. Fokus aja rontgen dalemnya. Ada yang lebih serius, kan, kayak luka-lukanya," maki Delta setelahnya.

"Tenang dulu, De," tegur Wira.

"Hipotesa, kan, itu? Dia masih bisa ngamuk kok minta gue lepasin waktu di apart," katanya.

"Dia tadi sempet tantrum?" tanya Fitra.

"Maksud lo? Normal, Fit! Dia terus ngamuk minta dilepasin, manggil nama gue, dengerin gue ngomong!"

"Dia sempet ngamuk berarti?" ulang Fitra.

"Tapi gak ngamuk brutal! Gue bilang, kan, normal. Ya kayak biasa tiap kita mau ajak dia ngomong terus ngamuk pas lo pegangin tangannya. Gitu doang."

"Udah tenang dulu. Iya, dia gak bakal kenapa-napa," kata Wira.

"Gue paling nggak suka denger diagnosis yang bawa-bawa kejiwaan," aku Delta masih dengan sisa kekesalannya.

"Iya!" balas Fitra. Dirangkulnya Delta untuk meredakan kekesalannya. Fitra akui ini pertama kalinya melihat Delta dengan emosi meluap-luap sepanjang mereka bersahabat.

"Yok, cek anaknya dulu," ajak Wira lebih dulu masuk ke dalam IGD. Selanjutnya, baru dibuntuti Fitra dan Delta. Dokter berkata kalau Ali sudah siuman, namun masih setengah sadar pasca diobati luka-lukanya. Kepalanya dapat beberapa jahitan karena robekan yang cukup lebar dan dalam.

"Kena lo sekarang."

"Sok-sokan sih!"

"Mau lari kemana lagi?"

"Buruan gak lo ngaku kalah!"

"Cuma ada kita bertiga di sini. Lo mau sama siapa lagi hah?"

Wira dan Delta benar-benar. IGD mereka jadikan tempat sesi mencemooh pasien yang tidak berdaya. Aji mumpung. Mumpung Ali tidak bisa kemana-mana, tidak bisa kabur seperti saat mereka mencegatnya di kampus atau di jalan seperti mencegat begal.

Powerpoint in Love 2 (END)Where stories live. Discover now