40. Line of Liars

1K 210 13
                                    

Bunyi peluit wasit menghentikan pergerakan kedua tim futsal yang sedang bertanding. Semua pemain menepi dari lapangan GOR pagi menjelang siang itu. Babak pertama selesai. Waktunya istirahat selama 15 menit.

Meski sabtu Minggu, kegiatan kampus tidak pernah sepi. Selalu ada saja. Seperti dua hari di akhir pekan ini, BEM fakultas Fasilkom mengadakan agenda pekan olahraga cabang futsal yang dikuti tim antar jurusan di fakultas tersebut.

Prilly mengambil ponsel—yang sedari tadi digunakan untuk menyuting pertandingan futsal melalui live Instagram—dari tripod yang dibawanya dari rumah. Ia memegang ponselnya, lalu mengganti pengaturan kamera menjadi kamera depan—hingga yang tampil di layar persegi panjang itu wajah ayunya. Setidaknya ada sekitar 50 lebih pemirsa yang menonton siaran langsung itu. Ia memakai akun resmi BEM fakultas karena liputannya masih bagian dari kegiatan kampus.

"Aku beli minum dulu. Mau apa?" tanya seseorang yang sedari tadi duduk di sebelahnya. Seseorang yang tiba-tiba punya job desk dadakan—jadi fotografer—mendokumentasikan pertandingan hari ini.

Wajahnya masih dingin, namun tidak separah saat mereka bertemu tadi. Sudah agak mendingan, sebagaimana Prilly yang hari ini jauh lebih baik dibandingkan kemarin. Pagi tadi, Prilly antara berani-tidak berani memberitahu Ali soal dirinya yang tidak bisa menepati janji untuk tidak meliput hari ini karena kondisinya yang sempat drop kemarin. Namun, beberapa alasan membuatnya harus benar-benar pergi hari ini. Aksinya tentu seperti memaksakan, yang membuat Ali protes habis-habisan di telepon pagi tadi.

"Halo?"

"Halo, kamu udah bangun?"

"Baru mau tidur. Kenapa?"

Prilly meringis ragu. Sempat bimbang. "Ya udah kalau gitu nanti aku telepon lagi."

"Kenapa? Udah mendingan?"

"Udah. Udah adem. Nggak demam lagi. Udah nggak sakit lagi kepalanya. Udah keringetan juga," lapornya seperti anak kecil. Menggemaskan.

"Ya udah, istirahat lagi. Mumpung libur. Makan yang banyak."

"...iya."

"Tadi mau ngomong apa?"

"Nggak jadi, nanti siang aku telepon lagi."

"Apa?"

Prilly menghela napas lebih dahulu sebelum bicara. "Subuh tadi partner ngeliputku ngabari kalau ada urusan mendadak—"

"Anak himpunan cuma dia doang? Nggak bisa diganti sama sie yang lain?" Benar, kan, dugaannya. Ia langsung kena semprot begitu saja.

"Dengerin aku dulu...." balasnya lembut. "Ini masih pagi banget. Belum ada anak yang ngerespons. Sedangkan acaranya jam 7. "

"Bisa-bisanya, ya? Terus bentuk rasa bersalah partner kamu apa?"

"...."

"Lepas gitu aja?" tebak Ali sarkastik. Begitu dingin. Prilly bisa merasakan itu hanya dengan mendengar suaranya, tidak berani membayangkan wajahnya diseberang telepon sana. Ia pasti baru pulang lembur, sudah berangan-angan akan tidur setidaknya sampai siang untuk menebus jam tidurnya yang selalu terenggut tiap malam.

"Aku udah mendingan. Beneran."

Di sambungan telepon itu hanya ada diam yang cukup lama. Setelah Prilly mengatakan itu, Ali tidak menanggapi dengan apapun. Entah apa yang dilakukannya diseberang telepon sana. Hening. Selanjutnya baru ada grasak-grusuk kecil. Pun Prilly tidak berkata apa-apa lagi untuk meyakinkan tunangannya itu. Takut Ali marah. Ia pasti merasa rungsing—belum tidur karena begadang semalaman parah. Ditambah dengan kabar yang dibawanya pagi-pagi buta begini.

Powerpoint in Love 2 (END)Where stories live. Discover now