37. Destroyed by Own Team

928 218 39
                                    

Waktu sudah berjalan lebih dari sebulan sejak hari itu—kalau boleh hiperbola sekali saja—hari simulasi kehancurannya. Oleh Ali, hari-harinya dilewatkan bersama hening yang membuatnya mulai terbiasa. Ia bahkan bisa duduk di sebuah ayunan berjam-jam sebelum pergi ke studio setiap malamnya seperti saat ini. Dari belakang saat orang melihat, mungkin akan dikiranya hantu yang sedang bermain-main di gelapnya malam.

Getar-getar di paha diikuti secercah cahaya dari layar falcon-nya, membuat fokusnya ke sana, lalu tak lama mati. Deadline tugas malam ini membuat grup lebih berisik dari biasanya. Minggu pertama perkuliahan sudah berjalan, langsung aktif seperti biasanya. Hectic dengan segala tugas-tugas dari dosen. Ia kembali melihat air danau buatan yang membiaskan lampu-lampu, bulan, dan bintang-bintang malam ini.

Ia sakit kepala. Badannya remuk redam. Matanya yang tidak pernah beristirahat bukan lagi merasakan kantuk. Pedih. Jika pernah merasakan bola mata seperti ada yang memutar-mutar, seperti akan copot hingga yang dirasakan adalah pusing—seperti itulah yang dirasakan Ali. Mengerikan. Memejamkan mata sebentar saja akan membuat matanya lengket. Namun meskipun begitu, kakinya masih bisa menggerak-gerakkan kecil ayunan yang didudukinya hampir dua jam.

Siapa yang pernah menyangka hidupnya akan jadi seperti ini, tanpa gairah dan minat lebih. Beruntung ia tak benar-benar kehilangan arah. Masih bisa berkuliah dan membuat lagu. Mungkin hanya itu. Karena sekeras apapun usahanya untuk menyibukkan diri dengan kedua hal itu, tetap saja masih ada kosong yang seperti ini. Kosong yang butuh ditempati. Kosong yang membuat ruang untuk pikiran berlebihan bahkan negatif datang sewaktu-waktu. Ali takut akan ada masa di mana ia tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.

Bahkan, tidak ada tempat untuknya mengeluh lelah. Untuknya menangis, untuknya pergi, untuknya marah, dan untuk hal yang lainnya. Dirinya sendiri yang begitu melarang keras. Dirinya sendiri yang menuntut untuk kuat. Dan itu kadang membuat dadanya terasa sesak.

Tak lama ia mengerjap saat pahanya kembali bergetar panjang ulah falcon-nya lagi. Ada sebuah panggilan masuk dari Prilly.

"Di mana?" tanyanya begitu menyapa.

"Di luar."

"Luar mana? Udah makan malam belum?"

"Di jalan mau ke studio. Udah makan tadi."

"Lembur lagi malam ini?"

"Iya," jawabnya.

"Kamu gak apa-apa, kan?"

"Gak apa-apa."

"Kangen.... "

"Tadi kan ketemu di kampus. Ngapain malem ini?"

"Nginep di rumah Rana, dia sendirian. Orang rumahnya keluar kota, baru balik besok."

"Kalian aman berdua aja? Kenapa nggak dia yang nginep ke rumah kamu?"

"Rumahnya kosong dong gak ada yang jaga. Semoga gak ada apa-apa deh."

"Aku bangun terus, kalo ada apa-apa langsung kabarin aku."

Terdengar tawa dari seberang sana. "Kalian berdua janjian atau gimana sih?"

Ali tidak mengerti. "Kalian berdua?"

"Ayah sama kamu. Ayah ngomong gitu juga tadi."

"Iya, janjian jagain kamu."

"Jangan-jangan habis ini Satya lagi. Aku pura-pura kaget aja deh kalo bener," katanya terkekeh. Ali ikut tersenyum. Lalu, hening beberapa saat.

"Li," bisik Prilly.

"Ya?"

"Belum sampe?"

Powerpoint in Love 2 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang