26. To This

1.2K 243 30
                                    

Author POV

Dua hari yang lalu masih Sabtu-Minggu, lalu hari ini datang lagi Senin yang menyebalkan bagi semua orang. Ya, hari ini mungkin menyebalkan bagi setiap orang termasuk Ali.

"Mau nggak bikin survey?" tawar Ali yang fokus menyetir. Prilly yang duduk di sebelahnya menoleh malas, tidak mengubah sama sekali posisinya yang setengah bertumpu pada kaca mobil. Ali menoleh pula, melihat Prilly yang seharian ini tak bertenaga—menurut Ali, seraya memastikan lagi pintu mobil terkunci.

"Survey apa?" tanyanya.

"Seberapa banyak haters hari Senin," katanya.

"Kenapa harus Senin? Padahal ada empat hari lainnya. Kenapa bukan Selasa, Rabu, Kamis, atau Jum'at?" tanya Prilly.

"Kalo Selasa sama Rabu dosennya sering gak masuk. Kalo Kamis cuma enam SKS, terus dosennya pelupa, jadi kalau dia gak masuk gak bisa nyalahin mahasiswanya. Kalo Jum'at kan ada yang namanya Jum'at berkah. Kalo dosen gak keluar kelas menjelang salat Jum'at, kita cowok-cowok menyuarakan gerakan salat Jum'at keras-keras."

"Kalo hari Senin, kan, isinya dosen disiplin dan killer. Mana sembilan SKS," lanjut Ali.

"Aku sebenarnya lagi males ngomong sama kamu." Prilly membereskan posisi duduknya, bukannya menggubris Ali. Laki-laki menoleh lagi, bingung melihat Prilly yang berubah serius. Sangat menyakinkan kalau Prilly-nya benar-benar sedang malas bicara seperti katanya tadi.

"Emang aku ngapain?" tanya Ali.

Prilly tidak menyahuti pertanyaannya. Seperti ada hal yang mengganggu pikiran perempuan itu. Ali juga kepalang tak paham, jadi ia juga hanya diam fokus pada kemudi.

"Aku mau tanya sesuatu," ucap perempuan itu sepersekian menit memecah bising dari lagu yang mengalun dari tape. Sebelum bertanya, tangan kiri Ali terulur memencet tombol off agar musik berhenti.

"Apa?"

"Kenapa kamu sama Zia bisa putus?"

Ali menggeleng tak paham. Kenapa dari sekian banyak pertanyaan, harus pertanyaan itu yang dilontarkan?

"Kenapa nanya gitu? Aku udah pernah cerita soal itu, kan?" tanya Ali balik.

"Aku nanya. Kamu tinggal jawab lagi," ujar Prilly sedikit memaksa—tak seperti biasanya.

"Dia lebih milih cowok lain dibanding aku. Kamu kenapa sih nanya itu lagi?" tanya Ali ingin tau. Ia membuka dengan tangan kanan satu kancing kemejanya. Topik pembicaraan ini berhasil menaikkan titik didih di tubuhnya.

"Yakin karena itu?" tanya Prilly kemudian.

"Dia sendiri yang bilang sama aku, Pril. Aku gak bisa lupa pas dia ngomong itu."

Genggaman tangannya pada stir semakin menguat. "Aku capek kita ribut terus. Aku lagi berusaha buat gak mancing topik-topik aneh. Tapi liat kamu malah bahas kayak ginian?"

"I know. Tapi, aku pikir kamu terlalu sensitif, yang sensitifnya itu berlebihan. Kamu minta aku buat selalu jujur dan terbuka, kan?"

"Kamu abis bareng sama Zia kemaren. Dia ngomong apa sama kamu?" tanya Ali.

"Zia gak ngomong apapun."

"Ya gak mungkin. Dia pasti ngomong aneh-aneh, buktinya kamu jadi kayak gini."

"Aku bilang nggak! Kalian perlu ngobrol. Zia perempuan yang baik, baik banget. Dia perempuan yang lembut. Kamu benar, nggak ada hal dari dia yang bikin orang lain nggak suka. Aku takut kamu nyesal. Please, nanti ketemu Zia, ya? Kasih Zia ruang buat jelasin semuanya. Rasa kecewa itu buat kamu jadi se-nggak acuh ini. Kamu udah dari kecil sama dia. Aku yakin dibandingkan aku… kamu yang lebih tahu gimana Zia. Kamu harusnya meragukan alasan dia waktu itu. Kamu gak harusnya langsung percaya gitu aja."

Powerpoint in Love 2 (END)Where stories live. Discover now