Pertandingan Basket Austin

Mulai dari awal
                                    

Seharusnya aku memberi tahu Jason tentang semua hal yang Larry katakan padaku kemarin sore, tetapi aku takut ia akan menyangkalnya. Buktinya ia belum berkata jujur padaku sama sekali. Jadi, percuma saja jika aku memaksa Jason untuk mengakui dan menjelaskan kejadian yang sebenarnya padaku.

Hari demi hari berlalu. Keadaan menjadi semakin rumit.

Di koridor menuju kelas, aku berpapasan dengan beberapa temanku. Seperti biasa aku menyapa mereka semua, tapi anehnya, mereka mengabaikanku. Tersenyum sedikitpun tidak. Aku berusaha untuk mengabaikannya.

Ketika aku memasuki kelas, aku melihat Austin sudah datang lebih dulu, duduk di bangkunya bersama dengan Hailee. Akhir-akhir ini, setelah aku bertengkar dengan Larry, aku lebih sering duduk di samping Austin. Jadi, seharusnya itu adalah kursi milikku. Tetapi setelah melihat ini, aku tahu bahwa Austin memang tidak berniat untuk duduk di sampingku. Austin tidak pernah suka duduk di samping Hailee. Ia mengakuinya sendiri. Ia pasti begitu membenciku hingga rela mengizinkan Hailee untuk duduk di sampingnya agar aku tidak bisa menempati kursi itu. Aku bahkan tidak tahu kesalahan apa yang telah aku perbuat.

Kemudian, aku melihat ke arah Larry. Ia tersenyum padaku. Aku membalas senyumannya. Aku berniat untuk duduk di sampingnya, tetapi Branton sudah lebih dulu menempati kursi itu. Aku juga tidak mungkin mengusirnya. Aku terpaksa mencari kursi lainnya.

Kanan. Kiri. Depan. Belakang. Semua kursi sudah ditempati.

Tunggu! Di ujung masih tersisa satu kursi yang kosong.

"Tidak mungkin!" Kataku, geleng-geleng kepala.

Kelihatannya, semua anak sudah datang ke kelas lebih dulu. Mereka sudah menempati seluruh kursi yang "aman". Kini hanya tersisa sebuah kursi yang selalu dihindari oleh semua orang. Tidak ada yang berani menempatinya. Begitu pula denganku. Seharusnya masih tersisa satu kursi aman lagi. Entah mengapa jumlah kursi di kelas ini berkurang. Aku tahu persis jumlahnya berkurang. Seseorang pasti sengaja mengurangi jumlah kursinya.

Aku tidak ingin duduk di sampingnya.

Dexter si bau busuk. Begitulah kami memanggilnya. Tidak pernah ada yang tahan untuk berada dekat di sampingnya walau hanya untuk satu menit saja. Kami bahkan tidak tahu penyebab ia bisa begitu bau. Apa mungkin ia tinggal di dalam tong sampah?

Beberapa guru sudah pernah memaksanya untuk mandi di kamar mandi sekolah. Mereka bahkan memperingati kedua orang tuanya. Tetapi tetap saja, setiap kali ia kembali ke sekolah, bau itu juga ikut bersamanya. Persis seperti bayangan. Seluruh keluarganya mungkin tidak terlalu memedulikannya. Sedangkan para guru terlihat sudah menyerah. Lalu, kami harus menanggung semua ini hingga akhir semester. Sepertinya aku akan mengurangi jumlah kelas yang sama dengan Dexter untuk tahun ajaran berikutnya.

Larry berusaha berbicara padaku dengan kode rahasia kami.

"Ada apa? Kenapa tidak duduk?" Katanya dalam kode rahasia.

"Tidak ada kursi yang kosong!" Balasku dalam kode rahasia.

Larry melihat ke sekelilingnya, mungkin berusaha membantuku mencari tempat duduk. Dalam seketika, raut wajahnya tampak berubah. Aku tahu persis bahwa ia memikirkan apa yang aku pikirkan. Ia kembali menatapku.

"Uh oh...kau dalam bencana besar!" Ucapnya masih dalam kode rahasia sambil geleng-geleng kepala.

"Aku tahu," kataku, mengangguk.

"Maafkan aku." Ia mengangkat kedua bahunya.

Aku tahu. Tidak akan ada yang berani bertukar posisi denganku. Sepertinya aku harus menyemprotkan parfum ke dalam lubang hidungku.

AMBISIUS : My Brother's Enemy [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang