[20] Tuhan Mengasihi

2.8K 193 7
                                    

Yohan berada di suatu tempat asing.

Ia tidak pernah tahu daerah ini, tetapi melihat maps di dalam ponsel, pemuda itu tahu, ia masih berada di Jakarta. Jalanan lengang, beberapa kendaraan lewat usai hujan membasahi bumi. Yohan mengembuskan napas berat, memeluk dirinya sendiri di balik mantel berwarna hijau tua. Iya, ia masih mengenakan mantel kendati hujan sudah berhenti.

Netranya mengedar ke sekeliling, mulai memasuki daerah terpencil di mana terdapat sebuah bangunan bernama pesantren berdiri.

Yohan telah meninggalkan orangtuanya.

Yohan telah meninggalkan teman-temannya.

Yohan telah meninggalkan Dipta dan Hanna.

Yohan tidak tahu pasti apakah yang dilakukannya ini benar atau tidak. Tetapi, jika Hanna tahu, mungkin gadis itu akan marah. Tuhan kamu pasti marah, Han. Mungkin begitu. Atau ... mungkin gadis itu terharu. Ya, setidaknya, tekad Yohan telah bulat. Diam-diam mengenali Islam lebih jauh, ia memutuskan untuk mengunjungi pesantren di daerah ini.

Mungkin, orangtua sudah dibuat bingung oleh anak semata wayangnya. Keluarga juga. Ah, tidak. Bukan lagi mungkin. Itu sudah pasti. Ia tidak menunjukkan kode apapun untuk meninggalkan mereka. Tidak pamit, tidak senyum, tidak apapun. Yohan menghilang mulai dari tengah malam.

Mengingatnya, sedikit membuat Yohan merasa bersalah.

Pesantren itu adalah pesantren baru. Yohan mengetahuinya dari internet, setelah merasa Dipta dan Hanna menunjukkan raut tidak bisa membantu banyak. Yohan mengulik segala tentang Islam sendirian. Lalu, ia memutuskan untuk mempelajarinya lebih dalam.

Pesantren berumur muda itu tampak lengang. Beberapa santri tampak bercengkerama di sudut bangunan, dengan pakaian khas santri; sarung, koko, dan peci. Yohan tersenyum, masih memandangi dari luar. Suasana di dalam sana terasa damai. Jauh berbeda dengan apa yang ia alami beberapa hari menjelang kabur dari rumah waktu itu.

Mama marah.

Papa marah.

Semuanya marah karena Yohan ingin meninggalkan agama yang dianut sejak kecil. Yohan tahu, orangtuanya tidak segan-segan memberikan apa yang ia minta karena ia merupakan anak tunggal. Tetapi, memberikan izin untuk memasuki agama Islam, tentu saja tidak dibolehkan.

"Mau jadi apa kamu?"

"Apa kata orang-orang nanti kalau salah satu anggota keluarga religius masuk agama lain?"

"Ini pasti karena kamu bergaul dengan teman-temanmu itu, ya?!"

"Selama ini Mama sudah memberi kamu izin berteman, bukan berarti harus sama iman, Yohan!"

Lantas, Papa tidak mengatakan hal selain kecuali satu kalimat, "Papa kecewa sama kamu, Han."

Yohan kecewa pada dirinya sendiri karena telah membuat orangtuanya kecewa. Tetapi, rasa penasarannya akan kebenaran Islam belum terpecahkan. Ia tidak mau melakukan hal setengah-setengah. Ini harus diselesaikan.

Yohan memutuskan duduk sejenak di kursi panjang di pinggir jalan. Ia melepaskan mantel yang masih melekat di tubuh, melipatnya dan memasukkannya ke dalam kresek, lalu dimasukkan ke dalam tas hitamnya. Iya, Yohan benar-benar berniat kabur. Pakaian, uang saku yang telah ia kumpulkan, semuanya ia bawa. Ia hanya meninggalkan kenangan bagi keluarga.

Entah kapan lagi akan pulang, ia tidak tahu.

Yohan meraih ponsel di saku, menghubungi seorang anak pendiri pesantren itu.

"Mad, gue udah di depan."

Ahmad Abdurrahman, lelaki yang dikenalnya melalui Facebook. Umur mereka tak berselisih jauh. Ketika Yohan mencari informasi pesantren itu melalui Google, ia mendapati fakta yaitu nama pendiri pesantren berikut anaknya. Lalu, ia mulai menjelajah Facebook, di mana itu merupakan sosial media yang paling banyak digunakan orang. Nama seperti itu memang tak sedikit digunakan orang, tetapi berkat kesabarannya, Yohan mampu menemukan.

Sosok pemuda yang belum pernah Yohan kenal, muncul dari dalam. Pemuda yang Yohan yakini itu Ahmad, membuka pagar pesantren dan tersenyum ke arahya. Yohan sudah menceritakan semuanya. Ahmad juga sudah menceritakan kepada orangtuanya. 

Ahmad berjalan menghampiri Yohan, menyalami Yohan dan tersenyum lagi. "Ayo masuk, nanti ketemu orangtuaku dulu."

Yohan mengangguk, berjalan mengekori Ahmad. Mereka berhenti di tepi jalan, menoleh ke kanan kiri sebelum menyeberang. Sebenarnya sepi, tetapi hanya untuk antisipasi. Nada dering ponsel Yohan berbunyi, membuat langkah yang akan dimulai itu terjeda. Yohan melihat nama Mama tertera. Sial, ia lupa belum menokaktifkan kartu perdananya.

Yohan tidak mengangkat, menolak cepat dan berniat melepas kartunya saat sebuah pesan masuk.

[Jangan coba-coba masuk tempat itu sendirian!]

Yohan melihat sekeliling. Hanya ada kendaraan yang akan melintas. Tapi, satu yang ia tahu, Mamanya pasti sudah tahu ia berada di sini. Yohan tidak tahu pasti, tapi barangkali, Papa meminta bantuan orang untuk melacak lokasinya sekarang ini. Pemuda itu tidak mau menoleh lagi, mulai berlari mendahului Ahmad tepat ketika pemuda itu berteriak, "Yohan, awas!"

Gerimis menyapa, membasahi bumi kian deras, bersamaan dengan darah yang mengalir di jalan itu.

*****

A/n: hehehe, haii. Habis ini tamat.

19-01-20

ShafWhere stories live. Discover now