[12] Keputusan Menyebalkan

2.3K 306 23
                                    

sebelum & setelah membaca,
silakan berdoa.

*****

Rasanya, detak jantung gadis itu berpacu lebih cepat tatkala teman sekelasnya baru saja menyebut namanya. Keringat menetes dari pelipis, menyebabkan kain berwarna putih penutup kepala itu basah di beberapa titik. Ia menggigit bibir bawah setelah kembali mendengar temannya memperjelas nama lengkapnya.

"Hanna Alhanifa, Bu."

Itu suara Yohan, pemuda yang duduk di bangku nomor 3 bagian paling kanan. Tangannya memegang pena, mengetuk buku tulis di depannya dengan irama teratur, seolah ucapannya tadi tak berefek apa-apa pada Hanna.

Hanna yang sedari tadi menunduk, kini perlahan mendongak, menatap Bu Elis dengan raut memelas.

"Tapi, Bu----"

"Hanna, maafkan saya," potong Bu Elis seraya merapikan alat tulis yang selalu ia bawa kala mengajar. Setelah mengangkat buku-bukunya, guru Bahasa Inggris itu menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, lalu melanjutkan, "Tapi, yang bisa diharapkan dari kelas ini, khususnya dalam mata pelajaran saya, saya rasa cuma kamu dan Ilham."

"T-tapi, Ilham, kan----"

"Hei, Hanna," potong Bu Elis untuk kedua kalinya. "Ilham anak organisasi. Dia ketua OSIS; banyak kesibukan. Lagipula, sudah banyak teman yang ia tangani selama ini; 3 dibanding satu jika dengan kamu."

Hanna terdiam, tak bisa memberi sangkalan jika sudah seperti ini.

"Tugas kamu sekarang cuma satu, ajari Yohan tentang bahasa Inggris."

Hanna ternganga. Tetapi, sebelum impulsif membalas perkataan Bu Elis, guru bahasa Inggris itu kembali melanjutkan, "Semua materi dari awal kelas 12 ini, ya, Hanna. Kalau ada kesulitan di jalan, silakan tanya saya."

Bu Elis mengedarkan pandangan kepada seluruh penghuni kelas XI-IPA 2. "Okay, thanks for your attention, guys. See you later~"

Semuanya serempak menjawab, "See you, Mom~", meskipun ada yang setengah hati melakukannya.

Itu Hanna, yang seketika menelungkupkan wajah kala Bu Elis meninggalkan kelasnya.

*****

Terik matahari di sore hari masih terasa. Hanna mengibaskan tangannya beberapa kali ke depan muka. Sesekali ia menutup mata, sengaja agar tertidur dan tahu-tahu saat bangun, sudah berada di atas kasur. Well, ia sangat berharap ini semua adalah mimpi. Mengajari Yohan, katanya?

Si anak kaya itu?

Apa tidak salah?

Iya, Yohan si kaya yang datang ke taman sore ini menggunakan mobil ferrari putihnya. Hanna menggeleng, takjub sekaligus tak nyaman.

"Maaf, tadi macet."

Hanna mengangguk singkat. Ingin menyahut, tapi tak tahu mau berkata apa.

Yohan menarik kursi yang berhadapan dengan Hanna dengan menunduk tepat lima sentimeter di depan kening gadis itu. Beruntung, Hanna masih sibuk dengan buku catatan yang kemana saja ia bawa pergi; buku kecil berisi ide-ide yang muncul tak tahu tempat, untuk dituangkan dalam novel nantinya.

ShafWhere stories live. Discover now