[8] Mulai Terganggu

2.7K 296 15
                                    

sebelum & setelah membaca,
silakan berdoa.

*****

Termenung.

Hanna banyak termenung sore ini. Ditemani rintik hujan di sore yang sepi, asap sebuah coklat hangat mengepul di udara, buku-buku tebal mengeliling di sisinya. Hanna memandang luar jendela. Napasnya sedikit tertahan. Sesekali, ia menggigit buku tipis di tangannya; buku tulis matematika khusus berisi kumpulan rumus.

"Ahh!" Hanna menghela napas beratnya, lalu menenggelamkan wajah di bantal berwarna merah muda di bawahnya.

Mengangkat muka setelah kehabisan napas, gadis itu meraih ponsel di atas nakas. "Katanya telpon ...," lirihnya memandang ponsel. "Eh! Apaan, sih?!" sadarnya kemudian. Ia mengetuk kepala beberapa kali. "Hih! Apa-apaan, ya Allah!"

Hanna membalikkan badan, dari tengkurap ke telentang. Memandangi langit kamarnya yang berwarna putih dengan lampu tepat di tengah, Hanna terbayang kejadian tadi sore. Di mana seseorang dengan lancang menyelipkan surat di tangannya.

"Kamu tuh, ya ...." Hanna mengangkat tangan, berlagak seperti meninju seseorang. "Ngapain kayak gituuu? Huhuhu."

Hanna berguling-guling di kasur, melindas buku-bukunya yang tidak bersalah.

"Ya Allah, bukuku." Ia tersadar, lalu merapikan buku-bukunya yang berserakan di bawah ranjang juga. "Maafkan aku, huhu."

Seluruh buku itu ditaruh di meja belajar, ditata rapi. Tapi, sebenarnya itu hanya sementara. Beberapa waktu ke depan, bisa dipastikan buku-buku itu akan berantakan kembali saat dibuat belajar. Sebuah siklus untuk seorang Hanna.

Kembali duduk di kasur, Hanna meraih secarik kertas yang ia selipkan di novel remaja favoritnya.

~~~~~~~

"Untuk Kamu yang (Katanya) Berbeda"

Ini bukan puisi
Hanya sedikit kisah
Tentang kita yang katanya berbeda
Ah, bahkan kamu saja belum mengenalku
Bagaimana mungkin ada kata 'kita'?
Aku terlalu ingin, ya?

Belum ada 'kita'
Belum
Kalaupun ada, itu hanya aku yang mengakuinya

Perkara hati
Perkara perbedaan yang katanya
Bisa memisahkan
Perkara perbedaan yang katanya
Tak baik dipertahankan
Tapi tak apa
Aku ingin memperjuangkan

"Karena kamu ... pantas ... diperjuangkan."
Ingat, kan?

Aku tidak bisa menyelesaikan sekarang
Butuh banyak waktu untuk mencurahkan
Ini hanya sebuah awalan
Untukmu, yang pernah mengatakan ....

Kita berbeda.

~~~~~~~

"Kok baper, sih? Belajar dari mana buat diksi sederhana tapi ngena kayak gini?" ujar Hanna tanpa mengalihkan pandangan dari kertas putih bercorak garis pelangi itu.

"Andai aku punya saudara. Enak kali, ya? Bisa cerita-cerita. Enggak sendiri kayak gini," keluhnya. "Mana udah 16 tahun, lagi."

"Hanna!" Sebuah suara menginterupsi monolognya.

"Eh? Iya, Ma!" sahutnya keras. Ia bangkit dan menaruh kembali kertas itu di tempatnya awal, di antara halaman 190-191.

*****

Di dapur, Hanna menemui sang Mama tengah mengiris bahan masakan. Bau sesuatu yang ada di wajan membuatnya ingin batuk berkali-kali. Akibatnya, ia menutup hidung saat berjalan ke arah Mamanya.

"Kenapa, Ma?"

"Bantuin Mama masak. Itu, sambelnya diangkat."

Oh, sambal ....

"Ditaruh mana?" tanyanya pelan, sedikit takut dengan aroma menyeruak dari sambal yang membuatnya ingin batuk itu.

"Taruh piring sebagian, sebagian lagi biarin situ, terus tambahin air dikit. Habis itu, ini dicuci," suruh Mamanya sambil menunjuk sayur yang telah dipotong kecil-kecil. "Terus dimasukkin, sambalnya tadi diratain sama sayurnya. Habis itu, dikasih santan."

"Ma, pelan-pelan. Aku nggak inget." Hanna menggeleng sambil mengambil air, memasukkannya di wajan berisi sedikit sambal tadi.

"Hih, kamu ini. Makanya, kalo Mama masak itu, diperhatiin. Belajar sekolah itu penting, tapi, belajar di rumah juga jangan dilupain."

"Iya, Ma, iya." Hanna hanya bisa pasrah. Meladeni pernyataan Mamanya, ia selalu akan kalah. Tidak berguna. Lebih baik diiyakan sejak awal agar tidak kecewa kalah.

"Gitu, kok, ada cowok yang suka. Apa yang disukain, sih?"

"Ih, Mama!" seru Hanna tak terima. "Ya terserah dia, dong, mau suka sama siapa."

"Dia anak baik-baik bukan, sih, Han?" tanya Mama, pelan.

Hanna mengendikkan bahu, tak acuh. "Aku nggak tahu hidup dia kayak apa. Cuma temen sekelas doang," sahut gadis itu sekenanya.

"Dia kemungkinan ke sini lagi nggak?"

"Nggak tau, Mama. Emang aku siapanya?"

"Pacarnya, kali, tapi nggak ngaku sama Mama."

Hanna yang sedari tadi menahan kesal pun mulai jengah. "Ini udah selesai. Hanna mau ke kamar dulu, balik belajar. Minggu depan ada tes olimpiade. Doain Hanna masuk tahap kedua." Gadis berjilbab abu-abu itu berjalan dengan raut masam, menaiki tangga, lalu berakhir dengan menutup pintu keras-keras.

Selalu begitu. Rasanya, saat ia marah ataupun kesal, segala sesuatu ingin dibanting. Atau kalau tidak, ia ingin berteriak. Ia tak bisa selalu mengungkapkan marah dengan kata kepada orangtuanya. Terlebih, kepada teman-temannya. Karena ia itu terkenal sebagai anak pendiam dan tak banyak tingkah.

Mereka hanya tidak tahu, bahwa anak pendiam bisa menjadi parah kalau sedang marah. Anak tunggal bisa menjadi lain saat sedang kesal. Mungkin tidak semuanya, tapi, Hanna seringkali bertindak tak senormal biasanya saat marah. Iya, seperti sekarang.

Ia menulisi buku-bukunya--semua buku halaman belakang--dengan curahan hati yang muncul tanpa aba-aba. Penulisan tanpa henti hingga saat pulpen habis, ia mengambil pulpen di kotak baru lagi. Begitu seterusnya sampai ia merasa tak memiliki kata-kata lagi di otaknya.

"Kenapa hadir di masa putih abu-abu?" ujarnya lirih. Bisa disimpulkan, hatinya mulai terganggu semenjak kedatangan surat selipan tanpa permintaan izin itu.

"Jahat!" lirihnya lagi.

Hanna tersenyum getir.
Beda. Iya, 'kita' emang berbeda.

*****

Senin, 29 April 2019.
22:03

ShafWhere stories live. Discover now