[15] Niat Hati

1.7K 254 53
                                    

sebelum & setelah membaca,
silakan berdoa.

*****

Hari ini, Senin, adalah tepat seminggu Hanna mengajari Yohan. Gadis itu sesekali meringis sebal saat si pemuda tak memandangnya. Ingin sekali Hanna mengakhiri privat khusus ini agar tak senantiasa berdekatan dengan Yohan. Tapi sayang, Yohan selalu ada alasan untuk mencegahnya pergi.

Tak apa kalau yang dibahas adalah materi bahasa Inggris. Tapi, ini bukan. Seperti ....

"Kata Ahkam, dalam Islam nggak ada pacaran."

Hanna mengangkat satu sudut bibirnya, tak paham dengan maksud perkataan Yohan. Ia menyesap coklat hangatnya sampai satu menit---kelihatannya saja. Faktanya, lima detik untuk menyesap, sisanya untuk menaruh sedotan di dalam mulut.

"Adanya ta'aruf," lanjut Yohan yang dijawab anggukan oleh Hanna.

Baiklah, selangkah demi selangkah Yohan mau dekat dengan Islam, tapi Hanna bukan gadis seshalihah gadis-gadis pondok ataupun seseorang yang bisa mempertahankan keinginan seseorang seperti Yohan ini.

"Kalo sama aku jangan bahas nikah-nikah gitu, deh," ujar Hanna sangat kesal.

"Aku nggak bahas nikah," elak Yohan dengan raut menggemaskan. "Emang kenapa? Kamu mau kita bahas itu?"

"Yohan!"

"Apa? Apa?" tantang Yohan. "'Kan, kita juga bakalan nikah."

"Yohan!" seru Hanna dengan nada tegasnya. Matanya melotot diiringi semburat rona merah muda di kedua pipi tembamnya.

Yohan tertawa keras.

"Syahadat dulu sana," kata Hanna teramat lirih, tapi Yohan masih bisa mendengar di sela-sela tawanya.

"Gimana, gimana? Beneran?"

"Hah? Apanya? Enggak jelas banget," elak Hanna.

Yohan tersenyum hingga deretan giginya terlihat. Tapi, sebelum sempat kembali menggoda gadis di depannya, ponsel di sakunya berbunyi. Masih mengeluarkan suara nada dering, Yohan mengusap layar yang kemudian memperlihatkan telepon dari Ibunya.

Yohan sedikit menjauh dari duduknya setelah meminta izin pada Hanna tapi tak digubris gadis itu.

"Ada apa, Ma?"

"Cepet pulang, ya. Ada kejutan di rumah."

"Kejutan?"

Di seberang sana, sang Ibu menjawab dengan suara teramat lirih.

"...."

Napas Yohan tercekat. Raut wajahnya seketika berubah. Saat berbalik dan mendapati Hanna mencuri pandang dengannya beberapa kali, ia tak dapat berekspresi seperti seharusnya karena perkataan Ibunya tadi.

Hal itu pun membuat Hanna ingin bertanya. Sayangnya, pikiran gadis itu lebih dahulu menyela,

Buat apa?

"Han," panggil Yohan yang seketika membuat Hanna mendongak.

"Aku pengen masuk Islam."

"Ha----"

"Tapi," sela Yohan dengan raut yang Hanna tidak pahami. "Tapi, bukan sekarang."

Hanna terdiam, belum bisa berkata apapun. Akhir-akhir ini---tepatnya seminggu saat ia membelajari Yohan---pemuda itu banyak bertanya mengenai Islam secara lebih dalam. Itu membuat Hanna berpikir macam-macam mengenai tugas Bu Elis ini.

Yohan itu ... kelihatannya sudah bisa bahasa Inggris.

Jadi, apakah murni memberi tugas atau ada maksud lain ... dari pihak utama?

"Aku suka kamu. Aku pengen masuk Islam. Tapi, aku nggak mau masuk Islam kalau karena suka kamu."

Suara Yohan terdengar tegas dan penuh keyakinan. Seperkian detik pemuda itu tak mengedipkan mata.

Hanna meneguk ludah sebelum mengucap nama pemuda di depannya itu, "Yohan ...."

"Beneran, Han. Aku nggak bo----"

"Kalau emang serius, kamu berdoa. Tuhan tahu mana yang terbaik buat kamu."

Yohan memijit pelipisnya beberapa saat, membuat Hanna kembali menunduk sembari bertanya, "Kamu ... ada masalah apa, sih?"

Yohan terdiam.

Namun, meski kadar cueknya tinggi, Hanna masih peka bahwa Yohan baru saja mendapat sebuah masalah. Masalah yang besar.

Sayangnya, ia tidak mau tahu apapun yang ada pada pemuda ini.

*****


Ini Sabtu malam, 27 Juni 2019.
19:58

ShafWhere stories live. Discover now