[10] Seperti Biasa

2.1K 270 9
                                    

sebelum & setelah membaca,
silakan berdoa.

*****

Diberi kalimat gombal sekali, tidak bisa tidur berhari-hari.

Itu Hanna.

Wajar. Tak pernah sekalipun ia dekat dengan lelaki semasa remajanya. Namun, sekalinya ada yang secara gamblang mengatakan suka, mengapa mereka harus berbeda?

Hanna bingung dengan takdirnya sendiri.

Bersekolah hari ini, ia tetap pada kebiasaannya; cuek dan pendiam. Seperti biasa. Hanya saja, saat pagi hari tak sengaja kontak mata dengan Yohan, ia salah tingkah sendiri. Tidak seperti biasanya yang lebih memasang wajah datar, ia menunduk lebih dalam kali ini.

Menghentikan langkah untuk duduk di kursinya, Hanna kemudian mengeluarkan buku catatan kecilnya. Menuliskan segala apa yang ada di pikirannya di sana. Ia hanya berpikir; siapa tahu tulisan itu bisa menginspirasi ceritanya nanti.

"Han!"

Hanna terjingkat, nyaris menjatuhkan pulpennya kalau saja teman sebangkunya itu tak meraihnya cepat.

"Pagi-pagi udah ngelamun, awas kesambet, loh!"

"Heh, hus!" seru Hanna pelan. Gadis itu menatap tajam Nina, tersangka badmood pagi ini.

"Hehe, ya maaf. Eh, PR udah belum? Ajarin dong, yang nomor 1, sama 2, terus yang nomer 5 juga. Eh, nomor 3 caranya belum, nomer 4 kurang jawaban akhir."

"Bilang aja nyontek, susah amat," sarkas Hanna, pelan. Ia sungguh tak terbiasa berbicara keras di kelas.

Entahlah, setiap berbicara, ia berpikir bahwa dirinya akan menjadi pusat perhatian. Dan, ia tidak suka itu. Ia lebih suka mengutarakan sesuatu kepada orang yang bersangkutan. Intovert? Bisa dibilang begitu. Bukan berarti ia tak memiliki teman. Hanya saja, ia lebih selektif dalam memilih siapa yang akan menjadi teman dekatnya.

"Dateng pagi cuma mau nyalin tugas, ya?" tebak Hanna dengan raut mengejek.

"Hehe, udah, nggak perlu diperjelas." Nina meringis tanpa dosa. Baginya, Hanna adalah teman yang selalu memahami dan membantunya dalam sekolah. Ia tak tahu banyak tentang kehidupan pribadi temannya itu. Namun, satu hal yang ia tahu dan pernah ia tertawakan dalam diam;

Hanna pernah mengatakan bahwa ia bosan masa putih abu-abunya monoton--tanpa kisah cinta sebagaimana anak lainnya. Lalu, di saat ada seseorang datang, mengapa mereka terhalang perbedaan?

Waktu itu, Hanna masih terganggu dengan kehadiran Arjuna di hidupnya semasa kelas 11 awal. Tapi, seiring berjalannya waktu, gadis itu tak menganggap penting si kapten basket itu. Ia tak pernah tahu, bagaimana Yohan memperhatikannya setiap hari, bagaimana Yohan berusaha berkomunikasi dengannya meskipun sepatah kata, dan ... bagaimana Yohan mengikutinya hanya untuk mencari tahu kebenaran, bahwa ... seorang Hanna adalah gadis yang memiliki sisi peduli meskipun jarang ia perlihatkan.

Hanna lebih suka melakukan kebaikan dengan tertutup. Ataupun ... saat tak ada orang yang dikenalnya. Ia merasa bebas melalukan kebaikan di tempat orang yang tak mengenalnya. Saat di bis, ia bisa memberikan masker kepada ibu hamil, agar tak menghirup asap rokok seorang perokok. Saat perpustakaan belum ditutup, ia lebih suka merapikan buku-buku di rak agar kembali rapi. Petugas perpus hanya mengenalnya sebagai siswi yang aktif membaca. Dan, hal lain yang lebih banyak. Ia hanya melakukan dengan sembunyi-sembunyi.

Nina menerima buku tulis Hanna dengan raut senang. "Eh, tapi nanti ajarin beneran, ya? Aku mau bisa, nih," pintanya sambil mulai menulis.

"Iya. Tanya aja yang belum bisa yang mana. Tapi kalo aku nggak bisa, coba tanya yang lain, atau tanya guru."

"Emang ada yang kamu belum bisa?" Kening Nina mengernyit, heran. "Kalo belum bisa, kok ada jawabannya? Kamu nyalin dari siapa?"

"Enak aja." Ekspresi Hanna berubah sebal. "Itu aku cari di internet yang belum bisa. Kemarin belum sempat aku pelajarin. Udah malem."

"Malem? Biasanya kalo matematika, kamu kerjain habis ashar."

"Itu ...." --- nggak bisa fokus belajar, huhu.

"Kenapa? Paketan habis?" tanya Nina, iseng.

"Hah? Enggak, sih." Hanna menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

"Lalu?"

"Itu ... nerusin buat cerita kemarin." Hanna tak sepenuhnya berdusta. Kemarin, ia menulis beberapa kalimat di bukunya, dan itu menginspirasinya untuk menulis cerita baru.

"Udah kamu posting?" tanya Nina antusias.

"Belum." Hanna menggeleng lemah. "Baru awalan, kok."

"Jangan sampe belajar kamu keganggu, deh."

"Iya. Itu cuma ...."--- alasan buat kamu percaya kalo aku ngerjain tugasnya emang maleman.

"Kak," panggil seseorang dari luar.

Ketiga remaja yang berada di dalam kelas--Hanna, Nina, Yohan-- itu menoleh. Didapatinya seorang adik kelas membawa sebuah amplop putih.

"Ini surat dari Kak Dipta. Katanya sakit." Adik kelas itu mengulurkan amplop ke meja Nina.

"Oh, ya. Makasih, ya!" ucap Nina seraya tersenyum.

"Iya, Kak. Permisi."

Hanna dan Nina mengangguk. "Masa' dia bisa sakit?" celetuk Nina pelan.

"Ya bisa lah. Namanya juga manusia."

"Eh?" Nina tersadar sesuatu, lalu menghadap belakang. "Yohan!"

Yohan menaikkan satu alisnya. "Kenapa?" Ia menghentikan aktivitas menulisnya.

"Dipta beneran sakit?"

"Enggak tau. Dia nggak ada chat."

"Ini kalo dia nggak sakit, namanya bohong. Aku ikutan dosa dong, kalo nulis dia sakit di jurnal nanti."

Nina adalah sekretaris kelas IPA 2. Sebagai siswi yang takut diwawancarai guru piket kelas saat ada temannya yang tidak masuk, dan bertanya apa alasannya, dia tidak bisa serta merta mengatakan sesuai isi surat. Pernah suatu kejadian, ada siswa yang mengirim surat izin sakit, dan ada siswi yang melihat siswa itu balapan liar di saat ada jam pulang pagi.

Akibatnya, Nina dimarahi guru BK dan wali kelas. Meskipun faktanya, ia tidak tahu menahu apa yang terjadi. Ia tidak mau dibilang bohong ataupun pilih kasih saat menulis keterangan. Makanya, ia berniat memastikan sebelum menuliskan.

Dengan raut masam, Nina mengambil buku jurnal. Sesaat kemudian, ponsel Hanna bergetar. Ada chat masuk dari sepupunya yang tidak masuk itu.

"Katanya emang sakit." Hanna mulai membaca isi pesannya. "'Gue beneran sakit. Suruh Nina nulis sakit beneran. Kalo nggak gitu, suruh dia ke rumah, mastiin kalo gue sakit, terus rawat gue sampe sembuh.'" Hanna tergelak. Sepupunya itu ....

"Modus!" seru Nina cepat.

"Eh, ada chat lagi."

"Apaan?" tanya Nina, keki.

"'Han, tolong bilangin ke Yohan.'"

Hanna berhenti sejenak dan menatap pemuda yang duduk di bangku belakang. Salah besar karena ia tak membaca dalam hati dulu pesan itu.

"Apa?" tanya Yohan pelan.

"Hah?" Hanna mengerjap. "Eum ... gini, 'nanti sore tolong ke rumah gue bentar, mau ngomong penting'. Gitu ...."

"Oh, oke." Yohan mengangguk.

Hanna mendesis pelan. Kalau Yohan punya ponsel sendiri, mengapa Dipta mengirim lewat dirinya?

Tapi, pertanyaan itu terjawab sudah oleh chat Dipta yang baru saja muncul;

'Sori, lupa kalo Juna punya hp. Hehe.'

Dipta sialan! Astagfirullah. Sabar:)

*****

Kamis, 02 Mei 2019
11:43

ShafWhere stories live. Discover now