[9] Suara Telepon

2.4K 299 17
                                    

sebelum & setelah membaca,
silakan berdoa.

*****

Menjadi anak tunggal dengan sedikit pengawasan tak membuat Yohan menjadi anak nakal. Ia masih tahu batas wajar dalam bergaul. Ia tak kurang kasih sayang, tercukupi malah. Namun, kasih sayang yang diberi orangtuanya adalah dalam hal materi. Bukan kasih sayang sebenarnya.

Biasanya, anak tunggal identik dengan kata manja. Atau justru kebalikannya; mandiri.

Mandiri adalah salah satu ciri di hidup Yohan yang tak bisa dipisahkan. Terbiasa ditinggal bekerja hingga pulang larut sejak kecil, membuatnya selalu mengandalkan diri sendiri, atau kalau sudah lelah, mungkin akan meminta bantuan pembantu rumahnya, Bi Inah, agar sekadar membuatkannya minuman dingin peneman waktu belajar.

"Temennya nggak ke sini, Nak?"

Tak ada kata 'den' atau 'tuan' untuk seorang Yohan. Pemuda itu yang meminta Bi Inah untuk memanggilnya 'nak' saja. Bi Inah adalah pembantu yang bekerja di rumahnya sejak ia kecil. Bahkan, ia merasa kalau Bi Inah lebih mengetahui apa-apa tentang dirinya daripada orangtuanya sendiri.

"Enggak, Bi. Tadi pagi, kan, ada basket. Ini pada istirahat, mungkin." Yohan menjawab dengan memaksakan senyumnya. Bukannya tak mau, ia hanya ... terlalu lelah hari ini.

"Ya udah, Bibi ke belakang dulu. Kalo ada butuh lagi, panggil aja."

"Enggak, kok, Bi. Udah, ini aja. Makasih, Bi Inah."

Bi Inah tersenyum, lalu melengang pergi setelah menutup pintu kamar Yohan.

Pemuda itu berbaring di sofa dekat tempat tidur sambil memainkan ponselnya, tanpa membuka layar. "Telepon nggak, sih?" gumamnya ragu.

Ia membuka aplikasi whatsapp-nya. Mencari kontak bernama "Hanna A" di sana. Sedikit tersenyum ia melihatnya. Kalau saja Hanna tidak masuk di grup chat kelas, mungkin ia tidak punya nomor gadis itu sampai sekarang. Beruntunglah ia yang memiliki tanpa meminta bantuan orang lain, karena ia yakin, Hanna pasti tak akan pernah mau dimintai nomor ponselnya.

"Telepon ... chat ... enggak ... telepon ... chat ... enggak ...."

Yohan menghela napas, mengacak rambutnya kesal. "Tidur aja enak," putusnya kemudian.

Dasar.

Baru beberapa menit ia menutup mata, suara hatinya berkata bahwa ia harusnya menelepon gadis itu sekarang.

"Oke, telepon sekarang."

Yohan memencet logo panggil dan menunggu seseorang di seberang menjawab. Pemuda itu bangun, meminum teh hangat sejenak, lalu kembali ke sofa, tengkurap.

["Assalamualaikum?"]

Napas Yohan tercekat. "Eh, Han ...," lirihnya.

*****

Hanna mengetuk kepalanya berkali-kali. Kebiasaannya mengucap salam sebagai awalan telepon itu terbawa saat Yohan yang menelelonnya. Ia lupa ....

"Aa ... iya, kenapa?" tanyanya berusaha tidak gugup. Tapi, Yohan sudah bisa mendengar kegugupan dari suara gemetarnya.

["Kamu ... ngapain?"]

"Hah?" tanya Hanna setengah tak percaya.

Oke, Yohan mulai berani menelepon dan membuatnya gugup. Tapi, setidaknya pembicaraannya yang jelas, tidak seperti mengisi waktu bosan seperti ini. Dikiranya gadis itu terbiasa meladeni banyak lelaki apa?!

Hanna berusaha sekuat mungkin untuk tetap beristigfar di dalam hati.

["Kamu jadi ikut kajian? Hari Minggu itu ...."]

"Ooh, enggak tau nanti. Pengennya sih, ikut."

Seorang Hanna, seringkali menjawab sebuah pertanyaan dengan pernyataan tak pasti. Ia hanya bisa memberi kalimat yang harus diduga-duga, tak jelas bagaimana maksudnya.

["Aku ikut boleh nggak, ya?"] celetuk Yohan.

"Ih, ngapaiiin?! Kamu, kan, ... eum ... itu ... ya, nggak usah ikutan, pokoknya!"

Yohan terkekeh, mulai tenang. ["Kenapa emang?"]

"Ih, malah ketawa. Ya jangan, deh. Mending kamu ke tempat ibadah kamu sendiri aja," saran Hanna yang membuat Yohan terdiam beberapa saat, sebelum pemuda itu menyahut, ["Kamu bisa nggak? ...."]

"A-apa?"

["Aku pengen, kalo setiap ngomong sama aku, kamu jangan bahas perbedaan."]

Hanna terhenyak. Ia tak menyangka reaksi Yohan akan seperti itu. "Eum ... tapi, kan, itu fakta. Kenapa nggak boleh?"

["Enggak enak, Han, suka sama orang yang megang erat prinsip kalo aku sama dia nggak bisa bersatu, itu nggak enak. Apalagi benteng besar itu bernama agama."]

Hanna melipat-lipat buku tipis di depannya. Ia memandangi sore hari dengan pandangan sendu. "Yohan ...."

Hati Yohan bergetar. Baru kali ini Hanna memanggil namanya, untuk yang pertama. Entah karena apa gadis itu bisa begini. Yang jelas, Yohan merasa, suratnya kemarin memiliki andil besar dalam permasalahan putih abu-abunya ini.

["Iya? Kenapa?"]

"Kamu itu harusnya ...." Hanna menjeda sejenak, membasahi bibir bawahnya beberapa kali. "Kamu jangan ... nolak fakta yang ada." Gadis itu menghela napas berat setelah mengucap kalimat yang sama beratnya itu. "Kita emang beda. Jangan ngehindarin itu."

Terdengar helaan napas dari seberang. Itu Yohan, tengah membalikkan badan untuk telentang. ["Aku bukannya nolak fakta. Aku cuma nggak mau, kalo perbedaan itu ngebuat kita jadi nggak bisa saling mengenal. Kamu tau maksud aku."]

Hanna menggaruk pelipisnya, lalu memilin ujung jilbabnya. "Ya ... gimana, ya?" Ia malah balik bertanya. "Aku ... boleh tanya satu hal?" katanya ragu-ragu.

["Apa?"] sahut Yohan cepat.

Menetralkan detak jantung yang kian cepat, Hanna bertanya, "Kamu kenapa pengen kenal aku?"

["Aku ...."] Yohan menjeda beberapa detik. ["Aku rasa kamu tau, kalo setiap yang diinginkan lelaki adalah yang terbaik. Dan, kalo aku udah milih kamu, kamu tau, di mata aku, kamu lah yang terbaik."]

*****

Selasa, 30 April 2019.
16:08.

ShafWhere stories live. Discover now