[6] Sepupu Pemaksa

2.7K 296 7
                                    

sebelum & setelah membaca,
silakan berdoa.

*****

Selama hampir 17 tahun, Hanna hidup sebagai anak tunggal. Tak ada adik ataupun kakak yang bersamanya di rumah. Jika ayah atau ibunya sudah keluar bekerja, terkadang ia di rumah sendiri. Jika tidak begitu, mungkin ia memilih pulang sore dan menghabiskan waktu di sekolah untuk mengembangkan imajinasinya.

Sejujurnya, Hanna tak suka keramaian. Bukan pada suaranya, namun, pada banyaknya orang. Gadis itu lebih suka menyendiri. Akan tetapi, kini ia dibawa paksa oleh teman-temannya agar ikut menjadi supporter tim badminton sekolahnya.

Padahal, kan, masih banyak yang mau. Kenapa aku?! Itu yang ada di pikirannya.

"Semangatin, tuh, jagoannya." Sebuah suara membuat raut kesal Hanna teralihkan. Ia mendapati teman sebangkunya, Nina, tengah tersenyum menggoda.

"Jagoan apa?" Ia tak paham.

"Tuh!" Nina mengarahkan dagu ke tempat berdirinya pemain badminton di lapangan. "Yohan."

Hanna berdecak. "Apaan, sih?!" ketusnya.

"Ganteng, ya, kalo diliat dari sini, si Yohan. Baru sadar aku."

Hanna menggeleng pelan. "Nin," panggilnya seraya tersenyum.

Nina mengangkat satu alisnya ketika merasakan ada sesuatu yang tidak enak. "Apaan?"

"Jangan ketus-ketus gitu, elah."

"Heh! Yang dari dulu cuek plus ketus waktu di sekolah itu siapa, hah?!" Nina melotot kecil, membuat Hanna tertawa. "Kamu tuh yang sok-sok an cuek, padahal cuma karena nggak mau diganggu cowok, kan? Sampe temenan cuma sama aku, lainnya kalo ada tugas doang."

Hanna jengkel. "Lagian, cowok itu sama aja. Baperin, abis itu ninggalin, nyakitin."

"Pengalaman, Mbak?"

"Pengalaman temen." Hanna tertawa mengejek Nina. Namun, tidak lagi saat kepalanya dijitak seseorang dari samping. Dipta, sepupunya.

"Tumben lo bisa ketawa, biasanya cuma senyum dikit terus lanjut muka datar." Dipta mencibir.

Hanna mencebikkan bibir. "Berisik."

"Namanya juga ada lomba olahraga," sahut Dipta. "Yang sepi itu kuburan."

"Ih, dikit lagi lucu, dikit lagi lucu." Nina menertawai Dipta. Kedua makhluk itu memang jarang akur di kelas.

"Pulang yuk, Nin? Yang penting, kan, aku udah ngikutin buat ke sini."

"Belum selesai, kutu buku .... Kalo mau nolong temen itu jangan setengah-setengah."

"Lama."

"Nanti aja, pulang bareng gue," sela Dipta.

Kening Hanna mengernyit. "Ngapain?"

"Gue mau ngomong."

*****

"Makasih, ya, udah mau dateng." Yohan tersenyum manis saat mengetahui Hanna datang ke acaranya.

"Makasihnya sama temen-temen aja, aku mau pulang."

"Tapi, Han, gue mau ke sana dulu." Dipta menunjuk luar lapangan. Ada sekelompok pemuda di sana yang tengah bercengkerama. Itu teman-temannya Dipta.

"Kalo kalian mau ngomong, di sini aja dulu. Nanti gue balik."

Niat Dipta meninggalkan Hanna agar mau sedikit saja berbicara dengan Yohan terurungkan saat jaketnya ditarik Hanna dari belakang. Pemuda itu berbalik, menatap sepupunya dengan penuh tanda tanya.

Hanna menggeleng kecil. Bibirnya mencebik, pandangannya menajam. "Ikut," ujarnya lirih.

Dipta menghela napas berat. "Ayo." Lalu menghadap Yohan sejenak. "Duluan."

Yohan tersenyum tipis. "Oke."

*****

Selesai berbincang dengan teman-temannya yang ikut mendukung tim lawan--karena beda sekolah--Dipta kembali menghampiri Hanna yang tengah duduk di tempat duduk terdekat.

"Langsung pulang?"

Hanna mengangguk cepat.

"Tapi gue, kan, udah bilang kalo mau ngomong."

"Ngomong apa?"

"Naik dulu," pinta Dipta agar Hanna menaiki motornya yang berwarna hitam putih itu. "Kita ke tempat makan bentar. Gue laper."

"Nggak bawa uang."

"Gue beliin."

Hanna terkekeh. "Boleh, boleh."

*****

"Yohan itu baik, loh, Han. Lo jangan cuek-cuek gitu."

Hanna berdecak. Mengapa di saat ia ingin melupakan pemuda menyebalkan itu, sepupu di depannya ini malah membicarakannya?!

"Aku turun sini aja."

Dipta mengerem mendadak, membuat Hanna nyaris memeluknya kalau saja tak ada tas Dipta di antara mereka.

"Kenapa, sih? Gitu aja marah."

Hanna turun dari motor dan menatap tajam Dipta. "Aku pulang sendiri."

Baru saja Hanna melangkah, Dipta menarik lengan bajunya. Gadis itu berdecak, lagi.

"Lo kalo nggak suka, bilang. Nggak semua cowok bisa peka kayak gue."

"Ya, terus, kalo udah tau aku nggak suka sama dia, kenapa masih dibicarain?!"

"Jangan cuek buat ngehindarin orang, Hanna. Nanti lo malah dicuekin balik saat butuh bantuan."

"Udahlah."

"Bahkan, sama gue yang sepupu lo sendiri, lo itu cuek. Apa gunanya, sih, Han?"

"Kamunya nyebelin gini." Hanna berjalan ke arah taksi yang akan melewatinya, tanpa menjawab pertanyaan Dipta semuanya.

"Tunggu dulu, ah."

Dipta menjalankan motornya. "Ikut gue bentar." Pemuda itu memaksa Hanna menaiki motornya, lagi.

*****


07.18
7 Apr 2019

ShafWhere stories live. Discover now