S2 | enam belas

464 84 26
                                    

"Pelan-pelan aja, Man."

"Iya, Bang."

Didin berdiri di depan Lenno, merentangkan tangannya dan berjaga-jaga untuk siap menangkap jika lelaki muda itu akan jatuh lagi, sebab saat ini Lenno sedang melancarkan gerakannya. Meskipun masih tertatih, setidaknya sudah berangsur-angsur normal. Ia bahkan sudah bisa melangkah lebih dari 2 meteran.

Hup!

Dan benar seperti yang ditakutkan, seketika itu juga Didin menangkap Lenno yang hampir jatuh tersungkur di rumput.

"Udah, istirahat dulu aja. Entar baru dilanjutin lagi." Titah yang lebih tua dan Lenno pun mengangguk.

Didin pun mendudukan Lenno di atas rerumputan sebelum meluruskan kaki-kakinya yang berkulit putih bersih itu dan mengoleskan minyak kayu putih. Ia benar-benar menjaga Lenno dengan baik.

Hembusan udara pagi begitu segar terhirup keduanya. Cicit burung ikut melengkapi pagi yang cerah saat ini. Hembusannya pun membuat beberapa dauh jatuh berguguran. Hingga dari dalam rumah, Ivan datang dan ikut duduk merumput bersama keduanya.

"Kok kamu gak kuliah, Van?" Tanya Lenno.

"Emm... hehe." Bukannya menjawab, adiknya itu malah ketawa.

"Mau saya anterin, Mas?" Tawar Didin.

"Enggak, Bang. Gak usah." Tolaknya sesopan mungkin.

Sekedar info, kini Ivan tak lagi memakai jasa Didin lagi untuk mengantar-jemputnya. Sebab setelah merasa cukup dewasa, anak itupun memutuskan untuk menyetir kendaraannya sendiri.

Pun dengan Bara yang secara langsung memberikan Mustang hitam kesayangannya itu pada si adik. Terlebih Ivan sudah memiliki SIM, jadi ia bisa tenang berkendara dari motor hingga mobil.

"Kamu bukannya ada kelas pagi, ya?" Teliti sang kakak.

"Emm... iya. Tapi aku males ngampus. Pengen ke rumah sakit aja nemenin Kak Bara disana." Jawab si bungsu.

"Tapi kan di sana udah ada Mama, Van."

"Justru itu, aku kasian sama Mama, dari Kak Bara mulai kemo, cuma Mama aja yang nungguin disana. Mama pasti capek."

"Kemo?"

Mendadak ada suara perempuan di belakang mereka dan membuat ketiga cowok itu menoleh seketika dengan netra terbelalak.

Maori Azura.

Entah sejak kapan ia ada disana, namun wajah paniknya itu sudah cukup menjelaskan jika si gadis mendengar percakapan antara adik dan kakak barusan.

"Kamu bilang apa tadi, Van?!! Rumah sakit? Kemo? Maksud kamu, kemoterapi? Bara lagi kemoterapi? Emang Bara sakit apa?" Tanyanya bertubi-tubi.

"Haduh, berabe ni urusannya." Gumam Didin.

Sementara itu Ivan dan Lenno saling berpandangan dengan wajah tak kalah cemas. Pasalnya Bara melarang mereka untuk memberitahukan keadaanya itu pada kekasihnya. Dan sekarang rasa-rasanya percuma jika keduanya berusaha mengelak karena si gadis sudah mendengar semuanya.

Ah, Ivan ingin sekali menghujat dirinya sendiri yang kadang suka berbicara tanpa melihat situasi dan kondisi disekitar.

"Kenapa kalian semua diam aja?!! Jawab aku! Bara sakit apa?!!" Karena tak ada juga yang menyahut, Azura pun kesal hingga membentak ketiga lelaki tersebut.

Lenno hanya bisa menghela napas panjang sebelum akhirnya mewakili adiknya untuk berbicara.

"Kak Bara... kena kanker otak stadium 4."

About My Brother ✔ [Banginho]Where stories live. Discover now