sebelas

804 152 55
                                    

"Apa sih yang kamu pikir pas ngelakuin itu? Kamu kira nyoba bunuh diri begini seru?! Kamu pernah gak sih merhatiin orang-orang disekitar kamu? Kamu pernah gak sih mikirin perasaan Mama sama Papa yang hampir stress karena kelakuanmu? Pernah begitu? Enggak 'kan?!" Geram Rama pada Bara saat lelaki itu duduk di sisi ranjangnya.

Bara tidak menjawab. Ia sibuk memperhatikan jendela dimana langit terlihat cerah di luar sana.

Namun tidak secerah hatinya saat ini. Terlebih orang tuanya sejak tadi terus memberikannya nasihat tanpa henti. Yang sebenarnya percuma saja. Karena hanya masuk kuping kanan dan keluar lagi di kuping kirinya.

"Sudah, Mas. Biarin dia istirahat dulu." Tahan ibunya sembari mengusap pelan bahu lebar sang pria.

Rama menghela napas kasar sebelum menggeleng dengan sesekali memijit keningnya yang pusing karena tak habis pikir dengan kelakuan anak sulungnya tersebut.

Lantas tubuhnya pun beringsut bangun dan pergi keluar tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi. Meninggalkan si sulung dan ibunya yang sama-sama berdiam diri tanpa ada yang mengeluarkan suara.

"Bara." Panggil Anika pelan setelah suaminya menghilang dibalik pintu.

Yang punya nama tersebut pun menoleh perlahan dengan wajah pucatnya. Dan saat itu juga tangan lembut sang ibu menggenggam tangannya dengan manik sendu dan penuh kesedihan.

"Kamu kenapa bisa nekat begitu? Apa kamu gak mikirin gimana perasaan Mama yang panik pas nemuin kamu udah gak sadar dengan nadi hampir putus?!" Tanyanya pelan dengan suara bergetar.

Bara hanya diam tidak menjawab. Namun matanya jelas mengatakan jika ia tengah menahan tangisnya.

"Apa kamu mikirin gimana sakitnya Mama ngeliat kamu masuk UGD?!" Air mata sang ibu pun perlahan turun menuruni pipinya.

Dan saat itu juga air mata Bara lolos--kembali tumpah. Namun ia masih bertahan untuk tidak mengeluarkan suara isakannya yang jelas memilukan dengan mengigit bibir bawahnya. Dadanya yang bidang nampak mulai naik-turun mencoba menetralkan napas yang tidak teratur.

"Bara... mau ketemu Lenno, Mam." Lirihnya sembari merundukan kepala.
"Bara mau... minta maaf sama Lenno." Suaranya parau karena tertahan dengan isak tangis yang semakin memaksa ingin keluar. Jemarinya sibuk memilin selimut yang menutupi sebagian tubuh.

Seketika itu juga sang ibu memeluknya erat. Dan begitupun dengan dirinya.

"Bara... kangen Lenno. Gara-gara Bara... Lenno pergi, Mam." Lirihnya yang segera dihujani gelengan kepala dari ibunya.

"Enggak, sayang. Itu bukan salah kamu. Berhenti nyalahin diri kamu sendiri. Lenno pergi karna memang sudah takdirnya. Bukan karena kamu."

"Tapi Bara yang udah nyelakain Lenno, Mam. Harusnya Bara yang mati. Bukan Lenno, karna Bara yang mainin benda itu. Karna Bara yang udah ninggalin Lenno sendirian disana."

"Astaghfirullah, Bara. Kamu gak boleh ngomong begitu."

"Aku benci diriku sendiri. Harusnya Mama biarin aku mati." Tangisnya semakin menjadi-jadi.

"Cukup, Bara! Kenapa kamu terus aja menyimpan rasa sakitmu sendirian? Apa kamu lupa kalo kamu masih punya Mama dan Papa? Mama gak bisa biarin kamu terus begini, Bara. Mama gak mau liat kamu kesakitan lagi." Tangis Anika pecah.

Bara menyembunyikan wajahnya di bahu sang ibu dengan tubuh bergemetar hebat karena tangisan yang tak kunjung berhenti.

"Tapi Bara yang udah ngebunuh Lenno, Mam. Bara yang bunuh Lenno."

🍁🍁🍁


Sudah 3 hari Bara dirawat di rumah sakit itu. Kondisinya pun perlahan mulai kian membaik. Namun sudah 3 hari juga ia tidak mau makan sama sekali.

About My Brother ✔ [Banginho]Where stories live. Discover now