47 : Evidently...

Start from the beginning
                                    

Tanpa ragu dan tanpa izin Mark, Taeyong membuka dinding chat mereka.

Kak Jian

| Mark
| Ponsel Renjun ketinggalan
| Bisa ke rumah ga?
| Bawain:'
| Kalian mau nongkrong kan?
| Ke rumah dlu yaaa!!!
| Kasian Renjun
| Mksey hh

K! |
Otw |

Tanpa sadar, pria itu tersenyum kecil sambil menschroll layar ponsel Mark, membaca pesan–pesan diantara mereka berdua. Sudah banyak, ternyata. Tak lama, Taeyong kembali ke raut seriusnya, mengingat Mark sudah banyak berkomunikasi dengan Jian sementara dirinya tidak diberi tahu.

“Mark!” Taeyong berteriak lantang, nadanya terdengar tegas. “Cepet sini!”

“Apa sih, Bang?” Mark datang dengan raut kesal dari dapur. “Teriak–teriak malem–malem!”

Taeyong menghela nafas kasar. “Jadi, udah berapa lama?”

Mark? Tentu saja mengernyit bingung, tidak tahu arah pembicaraan Taeyong.

Melihat respon Mark yang malah terluhat bingung, Taeyong mengacungkan ponsel milik Mark. Dan tentu, Mark membelalak kaget melihat dinding chatnya bersama Jian diketahui oleh Taeyong. Bisa gawat jika Taeyong tahu, Mark terus membatin.

“I–itu, nggak, bukan Kak Jian.”

“Dipikir gue bodoh! Udah, ayo cepet ke rumah Jian.”

“Hah?”

Taeyong melempar ponsel milik Mark dengan maksud agar Mark mwlihat pesan dari Jian yang baru saja masuk dan untung saja Mark dengan cekatan menangkap ponselnya. Kalau tidak, benar–benar harus membeli ponsel lagi anak itu.

“Gue ikut, ke rumah Jian.”

✨✨✨

Bahkan tidak sampai dua bulan tidak saling bertemu, dua makhluk yang kini berdiri berhadapan itu seperti tidak saling mengenal. Atmosfer canggung seolah menyesakkan ruangan yang mereka tempati, tidak menyisakam sedikitpun rung bicara untuk keduanya. Saling diam, begitulah.

“Kenapa nggak bilang?”

Setelah cukup lama saling bermonolog di dalam pikiran masing–masing, Taeyong memutuskan pertama membuka pembicaraan. Pria itu masih bertahan dengan raut datarnya, berusaha memendam rasa bahagia tak terkira, juga rasa kecewa karena tidak dikabari.

“Apa?” Jian berlagak bingung, padahal dia tahu kemana arah pembicaraan Taeyong.

“Kamu,” Taeyong menghela nafas berat. “Kenapa nggak bilang udah pulang?”

Jian tersenyum kecil. Sebisa mungkin dirinya terlihat tenang dan baik–baik saja, tapi faktanya tak kuat menahan gemetar. “Kenapa aku harus kasih tau Om?”

“Tapi Mark kamu kasih tau.”

“Aku nggak sengaja ketemu sama Mark,” Jian terus menimpali. “Ya aku pikir, ngapain juga aku kasih tau kalian. Tapi waktu itu, aku lagi sial. Aku ketemu sama Mark.”

Taeyong terdiam beberapa saat. “Jadi, yang di telepon itu, kamu?”

Jian menyernyit bingung.

“Mark, caramel latte nya nggak ada, aku ganti cappucino,” Taeyong menirukan bicara Jian saat itu. “Iya kan?”

Jian mengangguk.

“Jadi, udah berapa lama?”

“Apa?”

“Kamu sama Mark.”

Jian terkekeh pelan. “Aku nggak.”

Taeyong kembali terdiam. Tahu, tidak? Suasananya seperti sedang berperang dengan rasa munafik. Keduanya saling menyindir, tapi di dalam hati rasanya lain lagi.

“Ngomong–ngomong, selamat,” Jian kembali membuka topik baru.

“Apa?”

“Om mau nikah, kan?” gadis itu tersenyum kecil. “Nanti aku dateng.”

“Aku nggak undang kamu.”

Jian tertawa, kali ini lebih lepas. Ucapan Taeyong terdengar seperti candaan, tapi benar–benar membuat Jian terluka. Dan pada akhirnya, gadis itu hanya bisa mengangguk pasrah sekaligus menahan malu yang teramat.

“Ya udah,” terdengar dari nada bicaranya, Jian sepertinya ingin mengakhiri percakapan yang sangat tidak dikehendakinya ini. “Udah, kan? Om pulang aja kalau gitu. Aku mau masuk.”

“Jadi kamu mau gini aja?” pertanyaan mengintrupsi Taeyong menghentikan pergerakan Jian.

“Aku harus gimana?”

“Kamu bisa balik, kalau kamu mau. Dia cuma pelarian, tapi kamu tempat aku pulang.”

✨✨✨

[2] Marriage | Lee Taeyong ✔️  [end]Where stories live. Discover now