(24) Memilih

42 9 0
                                    

Pagi ini, kegiatan sehari-hari masih berjalan seperti biasa, itu yang aku pikirkan. Ketika tiba di sekolah, aku dikejutkan oleh kehadiran Syafira di pintu kelas. Aku kira ia tidak akan berangkat ke sekolah hari ini.

"Fia! Kamu pulang kok nggak bilang-bilang." Syafira memergoki.

"Ahahha, ya takutnya entar telat berangkat ke sekolah. Kamunya masih tidur, jadi aku pulang duluan aja tanpa ngasih tahu," jawabku seraya duduk di bangku dan bel belajar pun berbunyi.

Kegiatan belajar berjalan seperti biasa, dengan segala hawa kebosanannya. Hingga, jam istirahat pertama pun berbunyi, banyak orang yang ingin menanyakan padanya tentang kejadian kemarin, mengapa ia tiba-tiba menangis. Namun, tanpa pikir panjang aku langsung membawa Syafira keluar kelas, menuju taman di tengah sekolah, menghindari pertanyaan-pertanyaan yang akan terlontar, dan juga ada hal yang harus dibicarakan untuk memastikan semua kejadian ini.

Kami duduk di taman, dan aku mulai menceritakan mimpiku semalam dan mencocokkan dengan apa yang dialami oleh Syafira. Ia mengangguk dan membenarkan kisahku tentangnya.

Secara fisik aku tertidur, tetapi jiwaku pergi ke masa depan untuk menyelamatkan Syafira. Bahkan ia bilang bahwa yang menariknya ketika ledakan terjadi adalah aku. Ia mengucapkan banyak terima kasih padaku. Aku mencoba untuk basa-basi dan menganggap itu semua juga hanya kebetulan. Sebuah kebetulan bahwa jiwaku tiba-tiba ada di sana.

"Jiwa? Kamu, kan, bener-bener ada di sana, Fi. Kamu datang tiba-tiba entah dari mana, terus narik pundak aku sampai terlontar ke belakang. Kamu benar-benar udah nyelamatin hidup aku di masa itu," jelasnya sambil mengerutkan dahi.

"Jadi, begitu, alasan kenapa aku tiba-tiba bergerak dengan sendirinya dan bisa menarik kamu ke belakang, walau wujudku hanya sebatas roh. Mungkin aku di masa depan sudah tahu akan kejadian ini. Ketika aku tiba di waktu dan tempat yang sama dengan rohku berdiri, tubuhku di masa depan dan rohku ini terhubung, hingga menyebabkan sensasi di mana roh aku seperti menarik kamu," tambahku.

"M-mungkin. Aku kurang paham," jawabnya mengerutkan dahi.

"Ya, nggak usah dipikirin."

Aku turut menyesal dan prihatin atas semua kejadian yang belum terjadi itu. Namun, Syafira bilang bahwa ia baik-baik saja. Ia mengatakan bahwa ia tidak ingin tinggal diam, jika benar itu masa depan yang akan terjadi, ia akan menghindari semua kejadian itu dengan cara terus mengingat semua rincian kejadian di masa depan, bila perlu menulisnya. Lagi pula semua hal itu belum terjadi dan belum pasti, pikirnya.

Sejenak aku merenung, betapa lemahnya diriku. Setelah pulang dari masa depan, aku hampir tidak melakukan apa-apa untuk sebuah pencegahan, atau sekadar memperbaiki masa depan yang mungkin awal kerusakannya dari sekarang. Menganggap bahwa masa depan yang dibawakan oleh si Bayangan adalah mutlak kebenaran. Sedangkan Syafira, ia begitu kuat dan berani mengambil keputusan. Bahkan, ketika aku bertanya mengenai cintanya terhadap Izal, ia tetap pada pendirian untuk meraihnya. Jika itu aku, aku akan menghindari Izal, karena penggambaran di masa depan kala itu benar-benar sangat mengerikan jika harus melihat orang yang tercinta meninggal dengan tragis di depan mata. Aku kagum terhadap Syafira karena ia bisa berperilaku seperti biasa setelah semua kejadian ini. Mungkin kemarin ia sangat shock, tetapi itu kemarin. Untuk hari ini ia terlihat begitu kuat, hebat, dan tegar.

Tak terasa waktu istirahat sudah habis, dan kami pun bermaksud kembali ke kelas. Setelah kami berdiri, aku melupakan pertanyaan yang paling penting yang ingin aku tanyakan, dan aku menanyakan itu di perjalanan kami menuju kelas.

"Syafira, tunggu! Aku lupa nanya tentang si Bayangan yang ngasih kamu pilihan," ujarku. "Waktu itu, kamu pilih yang mana? Hidup tanpa rasa syukur? Atau mati dengan rasa syukur?' Dan kalau boleh tahu, gimana kamu bisa kembali ke dunia ini?"

Gelembung Waktu (END)Where stories live. Discover now