(02) Tokoh Utama

402 35 26
                                    

Di kelas kami, ada seorang perempuan cantik bernama Tesya. Mengapa cantik? Karena banyak cowok terpikat oleh parasnya yang anggun, pipi bulat, dagu lancip, rambut terurai rapi sepunggung, dan tampilannya modis walau hanya memakai seragam sekolah dengan jam tangan berwarna biru muda menghiasi pergelangan tangan. Bahkan ia terkenal oleh siswa di kelas lain di tiga tingkat kelas. Banyak juga, cewek yang merasa iri atas kepopulerannya. Yang menjadi nilai tambah dari Tesya, ia mempunyai perangai yang baik, ceria, menyenangkan, dan bersahabat. Ia adalah pribadi yang sempurna di mata teman-temannya, disenangi banyak orang, apalagi di kalangan para laki-laki.

Namun anehnya, ia masih sendiri, belum pernah menyentuh dunia 'pacaran'. Angka cowok yang ia tolak, sama dengan angka cowok yang mengajaknya berpacaran. Aku kira wanita berkerudung saja yang enggan untuk pacaran. Walau terkadang, yang berkerudung juga banyak yang pacaran.

Entah bagaimana lagi aku harus menceritakan kesempurnaan sosoknya. Akan tetapi, tetap saja tidak ada sosok yang sempurna di muka bumi ini. Setiap kali aku berpapasan dengan Tesya, ia seolah menyembunyikan sesuatu di balik matanya.

Menurut teman-teman, aku adalah salah satu orang yang paling bisa diandalkan sebagai teman curhat, orang yang cocok sebagai pendengar yang baik bagi orang yang ingin mencurahkan isi hatinya. Entah sejak kapan aku menjadi teman curhat bagi orang-orang yang mempunyai masalah, kemungkinan sejak Syafira curhat kepadaku dan menyebar ke teman-teman lainnya. Mungkin Tesya mendengar hal itu, dan sore hari sepulang sekolah ia memintaku untuk mendengar masalah yang ia alami.

Aku pulang terakhir karena mengerjakan tugas di kelas seperti biasa, Tesya sedang duduk termenung di bangkunya tepat di depan bangkuku. Setelah aku mengucapkan salam dan pamit untuk pergi lebih dulu, ia menarik tasku dan ingin aku mendengar curhatannya, mungkin karena pribadiku yang seperti ini, sehingga banyak yang langsung to the point kepadaku. Sebentar, ada yang aneh. Mengapa adegan ini harus sama seperti Syafira dulu?

Hal yang paling membuatku ingin segera pulang saat itu, karena Tesya membuka curhatan dengan tangisan. Menenangkan tangisan perempuan pasti membutuhkan waktu yang sangat lama, pikirku. Tak disangka, sosok yang periang bisa menangis seperti ini ketika tidak ada yang melihatnya. Ya, mungkin baginya aku adalah 'pengecualian'.

"Fia, kamu punya tisu, nggak?" tanya Tesya di awal pembicaraan. Aku pun memberinya sapu tangan, karena aku tidak punya tisu. Maklum, cewek tradisional.

Setelah membersihkan hidungnya dengan sapu tanganku yang kini telah ternodai. Ia mulai berbicara tentang keluarganya yang selalu bertengkar, bahkan sejak Tesya masih kecil. Ia mengeluh tentang keluarganya yang jauh dari kata harmonis, sehingga membuatnya stres.

"Makanya aku suka melampiaskan kesenangan di sekolah, kesenangan yang aku pendam terus di rumah," ucapnya.

Setelah aku memahaminya lebih teliti, ternyata ia mampu mengubah kesedihan menjadi kesenangan dan melampiaskannya di lingkungan sekolah dengan penuh senyuman, berbeda dengan kebanyakan orang yang justru sebaliknya. Mendengar kisah singkatnya tadi, membuatku sangat terkagum-kagum. Hingga aku pikir, ia lebih cocok menjadi tokoh utama di kisah ini.

Yang lebih membuatku terkejut, sebenarnya bukan karena pertengkaran keluarga yang ia tangisi, justru ia menangis karena terharu dan bahagia melihat keluarganya berdamai sejenak setelah melaksanakan salat magrib berjemaah. Bukankah sikapnya itu terlalu baik untuk ukuran orang yang mengalami kekerasan mental di rumahnya?

Perbincangan kami dibuat asyik olehnya. Selain humoris, ternyata Tesya mempunyai pemikiran yang mirip denganku. Ia juga berpikiran panjang ke depan dan suka meneliti karakter manusia, jarang sekali orang seperi Tesya mempunyai pemikiran seperti itu. Hingga tak terasa, ia berhasil membuatku tertawa dengan lelucon yang menyindir kebiasaan pemerintah yang suka korupsi.

Gelembung Waktu (END)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt