(23) Penderitaan

43 7 0
                                    

Namun, memangnya aku peduli akan hal itu? Masa bodoh jika aku harus mengubah tatanan masa depan, masa bodoh jika Haydar tidak dipercaya oleh orang-orang dewasa. Aku pasti bisa menyelamatkan Syafira, walau wujudku hanya roh di masa ini. Memangnya aku akan membiarkan sahabatku menderita? Aku mengesampingkan dulu pemandangan bahagia itu dan mulai melakukan penyelidikan dengan melihat keadaan sekitar. Aku terus memperhatikan benda, hewan, orang-orang yang melewati rumah mereka, dan hal sekecil apa pun yang mencurigakan.

Lantunan azan yang masih menggema via pengeras suara di setiap Masjid, menandakan waktu Magrib tiba pun terdengar jelas. Sampai saat ini, tidak ada apa pun yang mencurigakan. Kira-kira hal apa yang bisa membuat Syafira hancur? Apa karena pembunuhan, kecelakaan atau karena bencana alam? Tidak ada yang mencurigakan sejauh ini yang bisa memicu tiga kejadian itu.

Sampai langit mulai benar-benar gelap. Jika seharian tadi tidak ada kejadian apa pun, mungkin di gelapnya malam kejadian buruk itu akan terjadi. Aku menjadi lebih waspada dari sebelumnya. Tetapi, mengapa perasaanku mulai terasa sedih? Aku terduduk sambil memeluk kakiku di depan teras rumahnya, mendengar orang-orang di dalam rumah sedang berbahagia dan berbagi tawa ketika mengajarkan Haydar mengaji, tingkah Haydar yang polos dan lucu itu membuat penghuni rumah tertawa bahagia.

Terdengar Haydar meminta kepada ibunya agar dibelikan cokelat kesukaannya jika ia bisa melancarkan bacaan iqra terakhirnya. "Umah, kalau Haydar bisa lancar ngajinya, Umah beliin Haydar cokelat enak yang itu, ya, Umah."

Ternyata Haydar berhasil melancarkan bacaan Iqranya. Pada saat itu juga ibunya, yakni Syafira keluar rumah untuk membelikan cokelat yang dijanjikan. Aku berpikir mungkin di sinilah saatnya, ketika ia keluar dari rumah, ia disergap atau diculik atau bagaimana. Aku khawatir ia keluar malam-malam, hingga aku pun mengikutinya ke minimarket terdekat.

Dengan banyaknya pepohonan di pinggir jalan yang sepi, dan hanya terdengar suara gemeresik daun yang ditiup oleh angin malam, tiba-tiba saja langkahku terhenti dengan sendirinya. Sedangkan Syafira terus berjalan ke arah minimarket yang berjarak sekitar 100 meter lagi. Ternyata terhentinya langkahku ini mempunyai alasan, yakni kejutan oleh munculnya dalang di balik semua ini. Hawa di sekitarku menjadi semakin dingin dan mencekam.

"Kau bodoh sekali, Fia! Kau mengambil jalan yang salah." Hanya itu saja yang kudengar dari si Bayangan.

Setelah itu, suasana kembali normal dan langkah kakiku kembali bisa digerakkan. Tadinya aku ingin berteriak dan ingin sekali meluapkan amarahku kepadanya setelah sekian lama aku kembali bertemu dengan Bayangan busuk itu, tetapi sayang sekali pertemuan ini sangat singkat. Ketika ia muncul dan berbicara, bukan hanya langkah kakiku yang membeku, mulutku pun ikut membisu.

Mencoba mengabaikan amarahku, aku memikirkan apa yang dikatakan oleh si Bayangan tadi. Dia menyebut jalanku salah? Apa yang dia maksud jalanku salah? Prinsipku, atau jalan hidupku? Aku sama sekali tidak menganggap jalan hidup yang aku ambil ini salah. Tunggu, jalan? Kata kuncinya jalan? Jalan dalam artian yang sebenarnya? Itu berarti, aku berjalan mengikuti Syafira itu adalah sebuah kesalahan?

Nggak mau, aku nggak mau lagi ngelihat keluarga aku meninggal dengan tragis di depan mataku. Semuanya terlalu mendadak, aku ... aku bingung gimana ngejelasinnya.

Tangan ini memegang kepala karena terasa sakit di sana. Betapa bodohnya aku bisa lupa apa yang dikatakan Syafira kala itu. Walau aku tidak mempunyai tubuh, tiba-tiba kepalaku sakit dan mulai mengingat semua perkataan Syafira tentang kehilangan semua keluarganya. Betapa bodohnya, bodoh! Bodoh sekali. Aku malah menganggap Syafira-lah yang menghilang, bukan keluarganya. Mengapa aku bisa lupa?

Syafira sudah kembali dari minimarket dan dalam perjalanan pulang. Aku yang bukan berada di dunia sana berusaha berjalan kembali lagi ke rumah mengikuti Syafira. Aku terus berpikir dan menyesali kesempatan yang telah kulewatkan untuk mengetahui penyebab bagaimana ia kehilangan keluarganya secara tragis, juga melewatkan kesempatan untuk menolong mereka.

Gelembung Waktu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang