(29) Meluapkan

43 7 0
                                    

"Oh, jadi kamu sekarang berpihak sama si Bayangan? Mihak si Mar, hah? Atau jangan-jangan kamu ... udah di bawah kendali si Bayangan?" tegasku sambil menunjuk Mar.

"Kan, aku udah bilang, kak Mar itu bukan si Bayangan!" ujar Nia tegas.

"Kamu Nia, kamu nggak tahu seberapa besarnya tekanan mental Kakak setelah melihat semua ini. Sebenarnya Kakak nggak tahu harus ngelakuin apa. Kakak udah capek ... udah capek. Kakak cuma butuh orang yang perlu disalahkan atas semua ini, agar semuanya cepet selesai dan meluapkan semuanya ke orang itu. Kakak cuma bingung harus meluapkan semua ini ke siapa."

"Tapi, bukan berarti Kakak bisa seenaknya nyalahin kak Mar. Coba pikirin sekali lagi Kak, alasan kenapa Kak Mar membiarkan amukan Kakak?!"

"Nia, tolong! Kenapa di saat Kakak sedang tertekan kayak gini kamu malah berperan sebagai orang sok dewasa! Kamu ...." Aku kehabisan kata, hingga yang dapat kulakukan hanya menangis dengan keras, meluapkan semua tekanan yang kurasakan, meluapkan stres yang kupendam selama ini. Di kelas yang hening ini, hanya terdengar suara tangisanku yang sulit untuk diungkapkan alasannya.

Hingga ...

"Kakak ... Nia ... sebenernya Nia ... adalah si Bayangan."

Aku bangun dari pelukan Tesya dan menghampiri Nia sambil menyapu bekas-bekas air mata di pipiku dengan cegukan yang masih belum bisa kuhentikan.

"A-apa? Kakak nggak salah denger, kan? Kamu tadi bilang apa?"

"Sebenernya aku, aku si Bayangan," ucapnya sambil tertunduk.

"Oh, jadi selama ini, sumber penderitaanku ternyata adalah adikku sendiri." Aku meninggikan suara. "Oke, silakan jelasin, sejelas mungkin! Biar Kakak dan semua orang di sini yang menjadi korban kamu bisa denger alasannya. Alasan kenapa kita harus menderita secara mental karena ngelihat yang seharusnya nggak boleh kita lihat. Juga alasan tentang semua ini hanya untuk permainan bodoh kamu! Coba jelasin biar kita semua ngerti, APA MAKSUD DARI SEMUA INI!"

"Nia, Fia. Udah cukup dramanya." Dialog dari orang yang paling membingungkan di antara kami muncul memecah suasana hening di kelas, ketika masih pukul setengah enam pagi. "Fia, di mana kemampuan kamu ngebaca pikiran orang lain?" tanya Mar sambil bangun memegangi tangan kirinya. "Aduh ... ternyata sakit juga."

"Kamu nggak sadar apa, adik kamu itu lagi bohong? Sesudah ngedenger curahan isi hati kamu tentang penderitaan yang kamu pendam selama ini, sebagai adik yang baik, ia sengaja berbohong ngaku jadi si Bayangan demi kakaknya, agar kamu bisa melampiaskan emosi kamu lebih banyak lagi, yang selama ini kamu pendam." Mar meringis. "Ngelihat seorang pendiam meluapkan emosi sebesar itu, sangat langka, loh. Aku baru kali ini ngelihatnya."

"Jadi ... yang Nia bilang itu bohong?" Kekecewaan sekali lagi aku rasakan, karena kebenaran tentang si Bayangan masih belum terungkap. Oh, kapan semua ini akan berakhir?

"Guys, gue nggak ngerti kalian semua kenapa, dan gue nggak mau ikut campur sama keanehan ini. Tapi, kayaknya masalah itu udah beres yah. Boleh nggak, gue keluar dari sini?" tanya Sasa masih memegang pintu kelas seraya menggigil ketakutan.

"Maaf Sa. Orkanois– maksudku, kadal raksasa yang kemarin mecahin kaca," Mar menunjuk jendela kecil di atas, "Aku suruh dia jaga di luar, biar nggak ada yang masuk ke sini," jawab Mar.

Seketika Sasa menjauh dari pintu. "Lu gila! Itu kadal yang mau bunuh gue kan? Apasih masalah hidup dia? Punya dendam apa sama gue?"

"Hah? Bunuh? Nggak lah," sanggah Mar. "Dia temenku," ucap Mar seraya mengubah pedang ajaibnya menjadi belati kecil, lalu ia simpan di saku.

"Makin gila aja temenan sama monster," sindir Sasa. "Terus, yang dibilangin sama si Fia, apaan?!" Sasa kebingungan.

Setelah diam cukup lama adikku mulai menjelaskan awal dari fenomena ini.

Gelembung Waktu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang