Hampa

17.2K 2K 255
                                    

Double up untuk hari ini. Maafkan jika belum bisa maksimal karena kolesterol masih tinggi

Happy reading



Langit ibu kota hari itu bergelayut mendung. Hembusan angin yang menerpa, menambah suasana dingin di area pemakaman itu. Seolah mengerti akan kedukaan yang dialami, alam kembali memainkan perannya dengan menitikkan bulir hujan yang membasahi permukaan tanah berwarna merah itu.

Tak banyak orang yang datang ke acara pemakaman itu. Hanya belasan orang saja, namun semuanya seolah tenggelam dalam kesedihan. Suara isak tangis menjadi pengiring sekujur jasad kecil yang telah menyerah untuk melihat dunia.

Dengan perlahan, Damar meletakkan jenazah bayi mungilnya, kedalam tanah yang telah dipersiapkan sebelumnya. Kedua matanya terlihat sembam dengan wajah yang sudah tak beraturan. Hatinya semakin menjerit tatkala jasad putranya telah tertimbun gundukan tanah.

Damar masih bersimpuh di samping nisan yang bertuliskan nama anaknya ketika orangtua, mertua dan beberapa kerabat menaburkan banyak bunga di depan nama putranya.

Ardhana Respati

Damar sempat menggendongnya selama beberapa saat. Dia pun sempat berbicara kepada putranya meski setelah itu mereka harus berpisah untuk selamanya.

"Mas...pulang yuk!"

Hera mencoba membujuk putra sulungnya itu yang kini lebih banyak menunduk di depan pusara putra pertamanya. Namun nampaknya, Damar enggan untuk beranjak dari posisinya. Damar juga hanya memberikan jawaban lewat anggukan kepala  tatkala mertua dan kerabat yang lain menghiburnya dengan kalimat kalimat yang ia sendiri sudah bosan mendengarnya.

"Mas, aku sama Bude Ratih pulang dulu ya. Maaf, kalau Kak Arjuna ga bisa datang. Dia tidak diijinkan komandannya"

"Makasih ya Bia"

"Mas...jangan terlalu larut dalam kesedihan ya. Arini masih butuh kamu"

"Bude, Damar bisa minta tolong?"

"Minta tolong apa, Mas? Kalau Bude bisa, pasti dibantu"

"Ada sedikit masalah di kantor dan Damar yang harus turun tangan. Bisa tidak kalau beberapa hari ini, Bude dan Sabria yang jaga istri saya? Karena saya hanya percaya kepada kaliaj berdua. Apakah keberatan?"

"Tentu saja enggak. Mulai besok pagi, Bude dan Bia yang akan jaga. Kamu konsentrasi dulu ke pekerjaanmu ya. Arini aman bersama kami berdua"

Damar masih tetap di tempatnya meski semua orang sudah terlebih dahulu meninggalkan area pemakaman. Suasana hening menyelimuti ketika air mata Damar sudah tak bisa lagi ia bendung.

Damar menangis dan terisak sembari tangannya masih terus mengusap permukaan batu nisan milik putranya itu.

"Kenapa kamu pilih pergi, Nak? Kenapa kamu tinggalkan ayah sendirian?"

Bahkan ketika tetesan air hujan kian deras, air mata Damar tak kunjung berhenti untuk mengalir. Meski telah basah kuyup, Damar masih terus memeluk batu nisan itu

"Ayah sendirian, Nak. Bundamu...satu satunya wanita yang Ayah cintai, yang Ayah percaya, sudah mengkhianati kita..."

"Atau mungkin...karena Bunda seperti itu, kamu memilih pergi?"

.
.
.
.

"Ayah harus bagaimana, Nak...."

Damar menengadahkan kepalanya untuk menatap langit yang kini kian pekat. Damar ingin berteriak sekencang kencangnya. Meminta Tuhan agar mengembalikan putra yang sangat ia cintai itu.

JANJI SETIA UNTUK ARINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang