Calon Adik Ipar

24.7K 2.1K 113
                                    

Butiran hujan mulai menyapu landasan saat sebuah burung besi perlahan mendarat di salah satu bandar udara terbesar di Indonesia. Beberapa saat kemudian, satu persatu penumpang mulai menuruni satu persatu anak tangga pesawat. Dengan langkah lunglai, Arini mulai menuruni tangga pesawat. Tak ada senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Minggu depan statusnya akan berganti. Kebebasannya akan terenggut. Entah apa yang terjadi dengan dirinya, Arini sudah memasrahkan diri pada nasibnya. Mimpi buruk itupun kembali mendatanginya setiap malam. Saran dari sahabatnya, Andini tak lagi mampu mengatasi ketakutannya. Jalan terakhir adalah obat penenang yang selalu ia bawa di tas kecilnya.

"obat dari segala macam penyakit adalah suasana hati. Hanya kamu yang bisa mengetahui apa yang sebenarnya hatimu inginkan agar bisa menjadi damai. Berat menjadi seperti mu tapi tak ada kata mustahil untuk bangkit. Berdamailah dengan masa lalu dan maafkan mereka. Resep yang aku buat hanya mampu menangani sementara. Dan semua hal yang sifatnya sementara tidak lebih dari madu yang semula manis namun perlahan akan jadi racun yang mematikan"

Langkah Arini terhenti ketika beberapa langkah setelah ia keluar dari pesawat, ada seorang laki-laki yang masih menggunakan baju formal berupa kemeja batik dan celana bahan, nampak memberikan senyuman terbaiknya. Ada sebuah bouqet bunga mawar merah besar di tangannya. Lelaki itu berjalan perlahan dengan binar mata penuh cinta. Tak pernah Arini diperlakukan semanis ini oleh seorang laki-laki. Arini masih terpaku di tempatnya ketika lelaki itu memeluknya erat dan mencium keningnya begitu lembut. Tak peduli berapa ratus pasang mata yang mengamati tingkah keduanya, tetapi bagi lelaki itu, mendekap erat Arini adalah hal paling luar biasa dalam hidupnya.

"Welcome home, Mrs Damar. You drive me so crazy, Honey"

Arini tak lagi bisa berucap ketika dengan lembut, Damar menggapai tangannya kemudian membimbingnya untuk segera meninggalkan landasan. Tanpa sadar, kepalanya telah bersandar nyaman di lengan Darma.

"Aku tadi sudah minta ijin ke tante Savitri. Mama minta kita untuk ke rumah karena ingin ketemu kamu sekalian makan siang. Kamu ga capek kan, Sayang?"

"Sedikit tapi ga masalah. Tapi mas, bagasiku..."

"Ada anak buah Mas yang urus. Bagasimu nanti akan diantar sampe ke dalam kamarmu, Sayang. Ada lagi, Nyonya Damar?"

"Mampir ke toko kue ya. Mau beli tiramisu untuk tante Hera dan Om Awan. Aku ga sempet bawa oleh-oleh, Mas. Kalau Cindy suka apa ya Mas"

Darma terkesima dengan ucapan calon istrinya itu. Berkali kali ia mencium punggung tangan milik calon istrinya dengan mata yang masih terus menatap  tajam ke arah depan dengan sebelah tangan yang masih memegang setir kemudi.

"Sayang, ga usah. Kehadiranmu saja sudah cukup untuk Papa Mama"

"Ga enak lah, Mas. Seingetku Tante Hera suka banget tiramizu buatan Mama. Kalau Cindy suka apa Mas?"

Damar memilih menutup mulutnya.  Ingatannya kembali pada peristiwa dua hari yang lalu bagaimana pertengkaran hebat antara dirinya dan Cindy. Mereka tak pernah bertengkar, namun dua hari yang lalu menjadi pertengkaran pertama kali dan diakhiri dengan perginya Cindy dari rumah. Masih teringat jelas bagaimana Mamanya dengan berurai air mata meminta Cindy untuk tidak meninggalkan rumah. Namun adik perempuannya itu memanglah kepala batu. Sedangkan Papanya sudah tidak bisa berbuat banyak.

"Aku memang membencinya, Mas. Bukan hanya karena dia menyebabkan pernikahan ku batal. Dia perempuan sok suci. Andai Mas tahu masa lalunya. Mas sudah buta akan cinta sampai mengorbankan aku adik kandung Mas sendiri. Aku akan pergi dan jangan harap aku akan datang ke pernikahan kalian"

"Cindy masih benci aku ya, Mas?"

"Ga usah kamu pikirkan itu. Kita fokus untuk acara kita seminggu ke depan"

JANJI SETIA UNTUK ARINIOnde histórias criam vida. Descubra agora