22 - Máthima

9 2 2
                                    

Pagi itu cukup cerah, terdengar suara kucing di dekat jendela, diikuti dengan gerakan meregangkan tubuh. Lalu tak lama berselang, terdengar suara cakaran dari kuku-kuku tajam yang bergesekan di kayu jendela, meninggalkan bekas cakaran baru yang lebih dalam di tempat yang sama.

"Oh, Oliver, sudah berapa kubilang untuk tidak mencakar bagian itu! Jendelaku bisa berlubang!" gerutu Aesa. Namun seberapa besar ia menggerutu kepada kucing kesayangannya, ia selalu luluh terhadap tatapan dengan pupil yang besar itu. "Kau beruntung aku sayang padamu."

"Meong," balas kucingnya sembari menyundul-nyundul kepalanya kepada tangan Aesa.

"Aku harus melihat perkembangan Sienna, lalu menjenguk Vann. Aku penasaran apakah Vann sudah terbiasa untuk hidup di sini..."

Aesa beranjak dari kamarnya, melewati kamar milik Sienna yang selalu kosong di pagi hari. Pelajaran pada satu bulan pertama menjadi murid di akademi Palawan memang yang paling berat. Hal itu dikarenakan dasar-dasar teori sihir harus dikuasai pada bulan pertama—termasuk dengan praktik sihir sederhana. Namun, setelah bulan pertama terlewati, kegiatan-kegiatan tersebut akan berangsur kurang.

Aesa beranjak ke perpustakaan untuk menemui Gadrion, Kepala Administrasi dan Kearsipan di akademi. Ia tidak bisa bertemu Sienna secara langsung karena hal itu dilarang oleh akademi. Jadi, kesempatan terbaiknya untuk mengetahui perkembangan yang telah dilakukan oleh Sienna adalah melalui Gadrion. Setiap hal yang berhubungan dengan sesuatu yang perlu dicatat pasti melalui Gadrion, dan itu termasuk dengan peminjaman buku-buku teori yang pasti dilakukan oleh Sienna dan juga setiap tes-tes yang memerlukan kertas. Dari sana Aesa dapat mengetahui seberapa perkembangan Sienna.

Ruangan milik Gadrion bukan ruangan tertutup seperti kantor pada umumnya. Letaknya berada di antara quasar dan alfa beta omega, namanya bangunan arsip, atau terkadang disebut dengan bagian kearsipan, dan ukurannya tidak lebih besar dari kedua bangunan utama lainnya. Ketika memasuki bangunan, di sanalah ruangan milik Gadrion. Ruangannya yang cukup besar dengan tumpukan berkas yang memenuhi hampir di seluruh sisi yang dapat dipandang.

Ketika pintu masuk ke bangunan administrasi dibuka, Aesa mengedarkan pandangannya dan mencari sosok yang ia cari. Di dalam sana ada beberapa karyawan administratif selain Gadrion sendiri.

"Hai, Pak Gadrion!" sapa Aesa ketika mendapati orang yang ia cari ternyata duduk di tempatnya yang sama. Aesa langsung duduk di kursi kosong yang sama berdebunya seperti dokumen-dokumen yang lain. "Ya ampun, kapan bangunan ini akan dibersihkan?"

Gadrion masih seperti biasanya, sibuk dengan dokumen-dokumen yang harus diarsipkan. "Kau tahu jawabanku akan selalu sama, debu ini satu-satunya hal yang dapat memberitahu dunia bahwa tempat ini sangat bersejarah, selain bangunan ini sendiri."

"Padahal kau bisa dengan mudah membersihkan semua ini dengan satu mantra sihir sederhana!"

"Dan sebelum hal itu terjadi, kau harus melangkahi mayatku dulu, nak!" Gadrion terkikik lemah. Aesa selalu bisa menghiburnya meski dengan kata-kata yang sama setiap kali mampir. Menurutnya, debu-debu itu adalah hal yang penting untuk dirinya sebagai pengingat bahwa waktu terus berjalan maju. Ia mengalihkan pandangannya sejenak dari kertas-kertas di hadapannya dan melepas kacamata, tatapannya kini berlabuh pada Aesa yang baru saja membersihkan sedikit debu yang menempel di kursi di seberang meja lebarnya.

"Aku membawakanmu buah anggur," Aesa mengeluarkan sekotak kecil berisi dua tangkai anggur, "kesukaanmu," tambahnya.

"Uh," mata Gadrion langsung berbinar ketika melihat warna ungu buah-buah anggur dibalik kotak plastik transparan yang disodorkan kepadanya di atas meja. "Anggur segar!" serunya dengan semangat. Ia langsung membuka kotak tersebut dan memetik satu buah anggur, menciumnya terlebih dulu dengan hidungnya sebelum benar-benar memakannya. Wangi buah anggur memang yang terbaik di hidungnya.

The Runaway ChosenWo Geschichten leben. Entdecke jetzt