PART 36 | LIFE BUT LIKE DIE

23 1 0
                                    

Aku tidak mengerti akan masa depan. Setiap hari aku hidup dengan berpikir bahwa aku hanya untuk hari ini. Memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan benar-benar membuatku gila.

Rewrite Our Memories

...

"Aku mau menyerah, tapi kalau aku menyerah apalagi yang aku punya?"

"Hyeong Jin..."

Tanpa suara Hyeong Jin merangkul sebelah lengan gadis itu ke bahunya. Malam semakin larut dan beruntung saja orang-orang ini -meski nyatanya tidak- masih mengingat waktu. Seung Dae yang tidak begitu mabuk pada akhirnya pasrah dan hanya ingin larut dengan masalahnya seorang diri di rumah.

Ya, sama seperti dirinya yang hanya ingin  merebahkan tubuh di kamar secepatnya.

Bitna yang masih dipengaruhi efek alkohol yang diminumnya kini menepuk pipi Hyeong Jin dengan sebelah tangan lalu menarik pipi itu. "Kau tidak imut sama sekali untuk menjadi adikku."

"Aku juga tidak ingin menjadi adikmu," ucap Hyeong Jin datar, berjalan pelan, menuntun gadis itu hingga depan pintu. Dengan setengah mata terbuka, Bitna tersenyum menyeringai berhasil membuat Hyeong Jin mengganti perannya sekarang juga. Mungkin jauh lebih baik bila dirinya yang baik ini tidak disiksa seperti ini tapi akan menjadi jauh lebih baik bila Bitna yang seperti preman ini yang harus mendapatkan masalah yang tiada habis seperti dirinya.

"Untung cinta, kalau tidak aku tidak akan mau membawa gadis sepertimu mengerti?" tekan Hyeong Jin setengah bergumam, dengan susah payah menekan bel rumah dengan sebelah tangan yang merangkul tubuh Bitna. "Bagaimana juga kalau di sudut pandang manapun aku ini laki-laki sopan yang tidak pernah mengantarkan gadis mabuk seperti ini."

Plukk!

Hyeong Jin memejamkan mata begitu telapak tangan kecil milik Bitna menimpuk wajahnya dengan keras. Sungguh gadis ini dalam keadaan sadar atau tidak tetap saja menyebalkan. "Berhentilah mengomel padaku! Aku hanya ingin tidur mengerti! Antarkan aku cepat."

"Ini juga sedang berada di depan rumahmu," gerutu Hyeong Jin, membenarkan lengan gadis itu yang mulai tampak merosot di bahunya, lalu menekan kembali bel rumah, berhasil membuat pintu putih yang tadinya tertutup rapat kini perlahan terbuka.

Perempuan paruh baya dari dalam rumah mengintip seraya memikul tongkat baseball besar di bahunya. Diam-diam Hyeong Jin menelan ludah. Sungguh, menyeramkan sekali. "A-ah," Hyeong Jin tergagap, mencondongkan tubuh, agar pemilik rumah dapat melihat wajahnya dengan jelas. "Aku Hyeong Jin, tetanggamu."

"Tetangga?" Dengan baju tidur kuningnya perempuan itu mengernyit, jari telunjuknya mengarah ke sebelah rumah mencoba memastikan. Hyeong Jin mengangguk. "Ah rupanya kau! Ada apa Hyeong Jin?"

"Bibi..." Belum sempat Hyeong Jin menjawab, suara berat Bitna kini berbicara, memanggil perempuan itu dengan mata mengantuk. Pintu dibuka dengan lebar, berhasil memerlihatkan wajah Bitna yang kini memiringkan kepala, menopangnya di bahu Hyeong Jin. "Tugas akhirku ditolak lagi hehe..."

"Haish! Anak ini!" Mata perempuan itu membulat, mengancungkan tongkat baseballnya ke atas. Secepat mungkin Hyeong Jin menahan tangan perempuan paruh baya itu begitu juga mendekap Bitna secepatnya. Sekali lagi perempuan dengan rambut nyaris putih itu kembali berdecak. "Tenang saja Hyeong Jin, aku tidak mungkin memukul Bitna dengan tongkat baseball ini."

Diam-diam Hyeong Jin menghela napas lega. Refleks sebelah alisnya terangkat begitu memerhatikan ekspresi Bitna, sungguh lucu gadis itu tersenyum lebar seraya memejamkan mata. Benar-benar tampak pulas dengan gaya tidur berdirinya.

"Anak ini bodoh sekali," umpat perempuan itu berkacak pinggang lalu membalikkan tubuhnya, mencoba merangkul sebelah lengan Bitna di bahunya. Hyeong Jin melepaskan. "Hanya karena ditolak saja bisa seperti ini. Benar-benar tidak dewasa sekali."

Hyeong Jin yang mendengar gerutuan itu hanya bisa tersenyum hambar. Ya memang, terkadang Bitna memang terlihat seperti kekanak-kanakan tapi demi apapun Bitna selalu menghargai hal kecil yang berada di sekelilingnya dan tidak pernah sedikitpun Hyeong Jin mendengar gadis ini merendahkan sesuatu. Gadis ini memiliki sifat dewasa tersendiri dan yah...

Perlu Hyeong Jin akui, mungkin karena itulah dirinya tertarik debgan gadis. Benar-benar kebalikan dari dirinya yang terlihat dewasa namun kekanak-kanakan sekali.

"Hyeong Jin, makasih telah repot-repot mengantarkan anak ini."

Hyeong Jin menggeleng, tertawa pelan. Bitna masih saja berbicara dengan bahasa yang sulit dipahami sekarang. "Tidak apa-apa. Aku senang bisa menolongnya. Bibi, boleh aku pamit?"

Perempuan itu mengangguk membuat Hyeong Jin melangkah menuju rumah sebelah. Ya, rumah dengan rumput hijau ini siapalagi kalau bukan rumahnya. Tampak begitu gelap tanpa satupun lampu yang dihidupkan. Diam-diam Hyeong Jin menghela napas panjang, wajar saja mengingat dirinya datang ke lokasi syuting dengan waktu yang cukup pagi berhasil membuatnya tidak berpikir panjang untuk menghidupkan lampu-lampu ini.

Hyeong Jin memutar kunci pintu, sontak saja dahinya mengernyit seketika begitu merasakan keganjilan di sana. Aneh, ya benar-benar aneh. Bukankah tadi pagi tadi pintu ini sudah ia kunci? Seharusnya suara putaran kenop ini terdengar beratkan? Tapi kenapa terasa begitu ringan seolah ia membiarkannya terbuka?

Mustahil kalau...

Secepat mungkin Hyeong Jin membungkuk, membuka alas kaki hijau di depan pintu. Kunci cadangan masih tergeletak rapi di sana. Berarti ah... dirinya yang ceroboh kali ini.

Pintu terbuka. Tanpa mengucapkan salam atau sapaan dirinya melangkah ke dalam rumah. Merasa seluruh ruangan masih terasa gelap secepat Hyeong Jin menekan salah satu tombol lampu ruangan.

Tuk...

"Hyeong Jin."

Napas Hyeong Jin terhenti seketika. Kedua mata bundar yang di balik kacamata tebalnya itu kini perlahan membulat seketika, begitu juga dengan sekujur tubuh mendingin begitu memerhatikan perempuan paruh baya yang tengah duduk di sofa ruangannya.

Pandangan tegas ini...

Suara datar yang tidak pernah bersahabatan ini...

"Eo... eomma."

_____

Thanks for reading! ^^

Rewrite Our Memories [K-Lit] ✔Where stories live. Discover now