Chapter 15

38.2K 3.7K 862
                                    

Mohon koreksinya kalau ada typo 😊

Mulmed: Break away - Kelly Clarkson


Happy Reading


Di dalam mobil, tidak satu pun dari mereka yang bersuara. Hampir tengah hari, keduanya masih saling membisu di dekat taman yang tidak jauh dari persimpangan lima lampu merah di mana banyak pengamen yang tengah berkumpul menunggu bus lewat. Dan ada juga yang sekadar memetik gitar tanpa mengharapkan imbalan apa-apa sebagai pelipur lara. Bernyanyi keras, seolah tidak ada beban dalam diri mereka.

Tadinya Sea bersikeras minta diturunkan. Tentu saja Rafel tidak membiarkan dia pergi dengan mudah dan dalam keadaan seperti ini. Dia tidak mungkin meninggalkan Sea dalam keadaan menyedihkan. Aliran darah dari hidungnya bahkan baru berhenti sekarang. Dan jujur saja, ia tidak ingin melepaskan Sea bergabung dengan mereka—para pengamen jalanan itu. Gaya urakan. Telinga dan bibir yang dihiasi tindikan. Tubuh dipenuhi tato. Dan wajah sangar tampak menyeramkan. Mereka semua terlihat seperti preman kecuali beberapa anak kecil yang berada di ayunan sedang menghitung uang recehan.

"Kamu nggak takut gabung sama preman-preman itu? Gimana kalau diapa-apain sama mereka?" tanya Rafel sambil mengedikkan dagu tidak suka. "Kasih tahu aku di mana tempat tinggal kamu selama berkeliaran di luar. Aku langsung antarkan ke sana saja." Selama dua tahun terakhir, Rafel sama sekali tidak tahu di mana Sea tinggal saat dia tidak pulang ke rumah. Sea tidak pernah memberitahunya meski ia bertanya bahkan agak memaksa.

"Bahaya malah kamu dekati!" lanjut Rafel sambil berdecak jengah.

Tadinya Sea tidak menjawab, tetapi setelah cukup lama pertanyaan itu mengudara, akhirnya dia menjawab, "Apa bedanya kamu dengan mereka?"

Rafel agak tercekat, menoleh pada Sea. Dia cukup terkejut mendengar respons darinya. Biasanya Sea tidak akan menjawab pertanyaan semacam itu. Sea akan lebih memilih bungkam dan mengabaikan.

"Apa?" Rafel menautkan alis, memastikan.

"Kalian sama-sama menakutkan. Bedanya, jika mereka melakukan hal di luar batas, aku bisa melawan. Tapi sama kamu, aku nggak berhak untuk itu."

Rafel menatap punggung Sea, yang memang sedari tadi memunggunginya. "Kamu berhak untuk itu," disusul seringai meremehkan. "Tapi percuma, kamu juga akan kalah. Buang-buang tenaga saja." Decihnya.

Sea tersenyum miris. "Di dekat mereka, aku baik-baik saja. Di tempat terbuka yang menurutmu memiliki banyak bahaya itu, aku nggak kenapa-napa. Nggak satu pun dari mereka yang melukai aku,"

Senyum mencemooh yang semula menghiasi bibir Rafel, kini mulai terkikis.

"Tapi sebaliknya. Di istana megah yang seharusnya menjadi tempat paling aman, aku dihancurkan!" lanjut Sea, dengan pandangan nyalang ke luar. "Tempatku memang di jalanan. Sudah dua tahun aku hidup seperti ini, dan aku masih di sini sekarang, baru saja dipukuli oleh Papa."

"Kamu yang membiarkan diri kamu dihancurkan! Jika kamu marah, jika kamu merasa semuanya tidak adil, kenapa tidak melawan?!" Rafel memukul setir kemudi—naik pitam.

"Kamu bilang, bagaimanapun juga, aku akan tetap kalah." Sea menggumam sangat pelan, berbanding terbalik dengan Rafel yang berteriak lantang. "Melelahkan, harus melawan apa yang tidak seharusnya kamu lawan. Aku cukup tahu diri."

Rafel menelan saliva, untuk beberapa saat dia kehilangan kata. Ia menelungkupkan kepala ke setir kemudi, mengatur napas untuk menetralkan gebuan amarahnya. Tubuh Sea sudah babak belur. Tidak seharusnya ia menyakiti fisiknya lagi.

"Aku tahu kamu membenciku sekarang," dalam tunduknya, Rafel menggumam.

"Aku nggak mungkin membenci keluarga yang telah membiarkanku hidup lebih lama."

AddictedWhere stories live. Discover now