Chapter 10

42.8K 3.8K 657
                                    

Hai... chapter ini lebih panjang dari biasanya 😌 Kalau ada yang keliru atau typo, mohon koreksinya 🙏🏻

Happy Reading


Sampai di depan gerbang sekolah, bus berhenti. Star buru-buru menarik tangan Rigel agar segera bangkit dari duduknya. Mereka harus cepat keluar dari bus ini. Dan selama itu pula, ia pun tidak akan melepaskan pegangan tangannya sampai benar-benar memastikan bahwa Rigel berdiri patuh dan berada di barisan sana, di antara semua anak, mendengarkan petuah bijak dari gurunya.

"Minggir lo," ketus Rigel sambil menyenggol tubuh Sea agar menyingkir dari jalannya.

Sea memberikan jalan dan membiarkan dua majikannya itu mendahului. Kakinya sedikit keram karena puluhan menit berdiri tak mendapatkan bangku. Bahkan saat dua bangku di depan Rigel ditinggalkan penumpang lain dan ia hendak menempati, tangannya malah dicekal oleh Rigel agar tidak duduk di sana.

"Buat tas gue," katanya saat itu sambil meletakkan ransel sekolahnya di sana.

Ya, benar. Ran to the fucking sel! Rigel lebih memilih menempatkan benda mati itu yang tak memiliki rasa pegal daripada membiarkannya duduk. Seperti kata teriakkan batinnya, Rigel memang sakit. Ada yang salah dengan otaknya. Sea tidak merasa melakukan kesalahan fatal apapun padanya selama satu jam ini. Tapi, dia masih saja seperti setan memperlakukannya.

Wajah Sea tentu masih tertata datar, berusaha menekankan buncahan rasa kesal. Satu tangannya terkepal, sehingga untuk menutupi, ia memasukkannya ke dalam saku celana jins longgarnya yang warnanya sudah pudar dan terdapat sobekan di lutut. Ia memang tidak terlalu memerhatikan penampilan. Baginya baju apapun selama nyaman dipakai, ia akan mengenakannya. Lagi pula, style seperti ini adalah gayanya. Bebas bergerak.

Dehaman keras Ari di depan, membuat Sea menoleh padanya dan menggeleng—menandaskan ia tidak apa. Sahabatnya pasti sudah sangat kesal. Sea dapat merasakannya.

"Gue bayar bangku yang itu juga," ujar Rigel singkat sambil mengedikkan dagu ke bangku depan—agar si sopir itu tidak bercicit—lalu menatap Star lagi menyimak celotehannya.

Sepanjang perjalanan, itulah yang terjadi. Sea yang berdiri di samping bangku mereka, dan tawa kecil mengalun dari bibir kedua majikannya.

Sea mengembuskan napas pelan. Mata Sea menatap punggung tegap itu dari belakang. Tubuh Rigel sudah seperti orang dewasa dengan bisep otot yang tercetak jelas di balik seragam sekolah SMA-nya, tetapi sikapnya begitu kekanakan.

Belum setengah langkah, kaki Rigel berhenti lagi. "Tunggu,"

Star berbalik bingung sambil mengernyit saat tautan tangan mereka mengerat—ditahan Rigel agar berhenti sejenak. "Kenapa?"

Rigel mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribuan, melipatnya, dan memasukkan ke dalam saku baju Sea di bagian depan—tentu dengan sangat hati-hati takut area dadanya tersentuh.

Buah dada yang tampak sangat rata dan pasti super kecil itu haram untuk kena tangannya.

"Ongkos. Bilang ke dia, sekalian buat service AC-nya." Ia tersenyum miring, lalu berbalik mengikuti Star dengan agak merunduk takut terpentok atap bus.

Star tersenyum ramah pada Sea. "Kami duluan ya," ucapnya, dibalas anggukan kecil oleh Sea.

"Jangan lepasin tangan aku ya!" seloroh Star pada Rigel sambil memerhatikan keadaan di dalam sekolah.

Dipegang seperti ini oleh Star, desiran halus itu tak mampu keduanya tutupi. Gugup, tetapi pura-pura baik-baik saja. Masing-masing tenggorokan menelan saliva, tetapi berusaha mengabaikan getarannya seolah gelenyar asing itu bukan apa-apa. Banyak pasang mata yang tidak akan bisa memalingkan wajah mereka dari genggaman erat itu. Merasa ingin tahu dan menerka-nerka, sejauh mana hubungan mereka. Wajah keduanya yang terlihat memesona, sungguh enak dipandang mata. Jarang sekali melihat orang setampan dan secantik itu menaiki kendaraan umum seperti bus, pikir mereka. Minus Sea, tentu saja. Dia tidak peduli.

AddictedWhere stories live. Discover now