Chapter 40

58K 5.5K 4.7K
                                    

Haii... maaf atas keterlambatn update-nya. Beberapa hari kerjaanku lagi full :(

Btw, komen di part kmren sampe jebol ya wkwkwk barisan sakit hati banyak juga ya ternyata 🤭🤭






Happy Reading




5 tahun lalu

"Kak Rei, boleh aku masuk?" Star mengetuk pintu kamar Rigel. Berkali-kali, tetapi sahutan tidak sama sekali ia dapatkan dari dalam.

Setelah ia memutuskan hubungan mereka minggu lalu di hotel Ritz Carlton selesai acara kelulusan, Rigel berubah seratus delapan puluh derajat. Dia begitu dingin memperlakukannya. Star tahu, Rigel sangat kecewa dan sakit hati akan keputusan sepihak ini.

Bukan hal baru melihat dia bersikap kaku pada orang lain. Tapi, rasanya menyesakkan ketika diterapkan juga padanya. Tidak pernah sekali pun Rigel bisa mengabaikan Star. Saat marah, dia memang akan diam. Tapi, tidak lama, dalam hitungan jam mereka akan baik-baik lagi saat ia mulai merajuk. Jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Star sangat merasa kehilangan. Bahkan untuk sekadar menatap wajahnya saja Rigel enggan. Canggung dan tak menyenangkan. Rasanya benar-benar berat harus bertahan tanpa kelembutan dan perhatiannya. Sungguh, Star tidak tahu sampai kapan ia bisa tanpa dia. Seumur hidup saling menemani, dan hanya dalam hitungan jam lagi dia akan pergi. Ia tidak pernah membayangkan mereka akan hidup berjauhan nanti. Tidak pernah. Ia pikir saat keduanya menua, mereka akan terus sama-sama.

"Kak, aku masuk ya?" Akhirnya Star memberanikan diri membuka daun pintu, melongokkan kepala ke dalam kamar. "Kak Rei, kamu di sini?" panggilnya pelan seraya berjalan ke arah ranjang.

Tas dan beberapa koper saling bertumpukan di kamar Rigel. Semua barang-barangnya telah disiapkan untuk keberangkatannya dua hari lagi ke Amerika. Seakan ada beban berat yang tengah dipikul di pundak, Star bergeming di tempat— memerhatikan semua persiapan kepergiannya.

Persiapan ini hanya membuat sesaknya bertambah parah dan tanpa sadar, air matanya menetes keluar. Sudah sangat terlambat jika ia menahannya, atau memutuskan untuk ikut ke Amerika. Orang tuanya sudah mendaftarkan dirinya di salah satu Universitas fashion terbaik di London sesuai keinginan Star agar bisa melupakan perasaan sesatnya pada Rigel. Berharap jika mereka berjauhan, tidak akan saling ketergantungan. Tidak akan lagi saling melangkahi batasan. Namun, malah ia yang terjebak dan menyakiti diri sendiri dengan perpisahan ini.

"Kak Rei, kamu di mana?" parau, dia kembali memanggil. Melarikan pandangan ke arah beranda kamar pun tanda-tanda kehadiran Rigel tidak ditemukan.

Menyeka air mata, Star buru-buru keluar dari kamar untuk mencari Rigel. Langkahnya terhenti di undakan tangga paling akhir saat melihat Rigel dan Sea tengah bergelung di atas karpet lantai—bergulat tidak jelas di sana. Tangan Rigel terlingkar di lehernya, mengunci sampai wajah berekspresi dingin itu terlihat memerah tampak murka.

"Ayo bilang, gue ganteng nggak?"

"Bego, lepasin!"

"Ganteng nggak?"

"Jelek!"

"Ganteng nggak?"

"Jelek banget!"

"Lidah lo berdosa bohong mulu. Gue gigit kalau nggak jawab jujur," sambil mengeratkan kuncian kakinya di tubuh Sea. "Sekali lagi, ganteng nggak?"

Dia masih terus bertanya—tampak ceria dengan pergulatan mereka. Setiap kali bersama Sea, Rigel selalu terlihat sangat aneh. Rambut keduanya telah dibasahi keringat sambil masih berguling-guling di lantai. Terlihat sangat akrab—membuat hati Star serasa dicubit. Sakit, melihat miliknya akrab dengan orang lain dan memilih menjauhinya.

AddictedМесто, где живут истории. Откройте их для себя