Chapter 21 - Welcome to My Hell

2.9K 188 23
                                    

Grandson - Blood // Water

***
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

***

Jangan lupa vote dan komen :)
Koreksi kalo ada typo!

Happy Reading Everyone

***

Chicago, Amerika Serikat

Seorang pria dengan setelah mahal berwarna gelap duduk di sebuah singgasana dengan sandaran kursi yang diukir. Sebuah cerutu berada di antara kedua bibirnya, sesekali ia menghembuskan asapnya ke udara dengan ketukan sepatu mahalnya yang menggema di lantai berbahan marmer.

Cahaya yang berasal dari perapian memantul ke wajahnya, hingga memperlihatkan sebuah seringai mengerikan. Rahangnya mengeras, tatapannya setajam elang serta kening yang mengerut karena amarah.

Pria itu berdiri menghampiri seorang pria berkepala plontos yang tertunduk di hadapannya. Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, ia menendang kepala pria itu, hingga membuatnya terjerembap ke atas lantai yang dingin.

"Bodoh!" umpatnya keras di depan wajah pria itu. Arthur memandang jijik pria itu. Tidak peduli jika darah mengalir dari kepala plontosnya akibat tendangan darinya. "Bukankah aku menyuruh membunuhnya?"

Pria itu tergagap, "Sa.. saya sudah berusaha, Tuan. Bom yang saya tanamkan, adalah salah satu bom yang sangat mematikan."

Arthur mendengus. "Bom milikku benar-benar tidak berguna! Aku seharusnya tidak mempercayakan tugas ini kepada warga rendahan sepertimu. Aku yakin, kau lebih senang melihat keluargamu hancur, Brian."

"Tidak! Jangan libatkan keluargaku." Brian memohon.

"Lelaki bodoh! Jika kau tidak ingin terlibat hingga sejauh ini, seharusnya kau tidak pernah berhutang kepadaku. Apa yang bisa kau tawarkan padaku untuk menebus semua kesalahanmu?"

Brian benar-benar pusing. Pikiran jernihnya sudah menghilang entah ke mana. "Bunuh saja aku. Tapi tolong, lepaskan keluargaku."

"Kau pikir kematianmu bisa melunasi segalanya? Tapi jika itu kemauanmu, tidak masalah untukku." Arthur menyeringai

Arthur tidak memberi Brian kesempatan untuk bicara lagi ketika ia mengeluarkan pistol dari balik mantel tebal yang dikenakannya. Sensasi dingin dari logam yang tertempel di kepalanya membuat tubuh Brian bergetar. Brian menutup matanya dengan hembusan napas yang memburu. Ia tahu hidupnya akan berakhir di sini.

Bayangan putri kecilnya yang sedang bermain dengan istri tercintanya memenuhi kepalanya. Jika mati adalah pilihan terbaik untuk menyelamatnya keluarganya, maka Brian akan melakukannya.

Arthur menarik pelatuknya, membiarkan peluru tembaganya menembus tengkorak kepala pria itu. Darah keluar dari lubang yang dibentuk dari peluru. Brian mati dengan berlutut di hadapan Arthur, serta senyum yang menghiasi wajahnya. Dengan ingatan terakhir tentang keluarganya, Brian berharap keluarganya baik-baik saja setelah kematiannya.

Arthur menatap kedua anak buahnya yang berdiri di depan pintu. "Urus mayatnya!"

***

Chance Where stories live. Discover now