Chapter 10 - I'm the Controller

2.7K 244 6
                                    

Lagi suka sama lagunya🔥
Bea Miller - Buy Me Diamonds

**

Jangan lupa vote dan spam komen!
Koreksi kalo ada typo!
Love u all❤

***

James mengisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskannya ke udara. Seorang pria berambut merah tanpa hasil pewarna, tergeletak di lantai dingin di ruangan bawah tanah rumahnya. Ia menatap pria yang hampir kehabisan darah tersebut dengan pandangan mencemooh. Batang candu yang masih tersisa, di jatuhkan ke lantai. Hampir saja mengenai wajah Diego Vespucci dan menginjaknya menggunakan sepatu pantofel mahal.

Diego berlutut di kakinya. Bukan karena kehendaknya, tetapi akibat paksaan dari kedua capo yang sudah menyiksanya hingga tidak memiliki tenaga untuk melawan atau berdiri.

Sambil mengeratkan topengnya agar tidak terlepas, James berlutut untuk menatap wajah pria itu. Wajah asing yang tidak pernah ia lihat sama sekali. Beberapa soldiers yang berjaga di halaman depan rumah James mendapati Diego sedang mengintip melalui semak belukar yang tinggi. Mereka menyeret Diego dan menyiksanya di ruangan bawah tanah dan memaksa untuk membuka mulut.

Salah satu capo memanggilnya karena Diego sama sekali tidak ingin membuka mulutnya. James salut dengan kesetiaan Diego kepada siapa pun yang memerintahkannya untuk memata-matai kediamannya. James tidak tahu dari mana mereka menemukan alamat persembunyian James, dan itu jelas sangat berbahaya.

“Jadi siapa yang menyuruhmu?” tanya James yang sedari tadi hanya menikmati pertunjukan yang dilakukan oleh anak buahnya terhadap Diego.

Diego Vespucci tetap diam. Ia terbatuk-batuk dengan darah yang keluar dari mulutnya. Diego merasakan sakit yang luar biasa di tubuhnya, tulangnya patah akibat tendangan dan injakkan di kakinya yang dilakukan oleh salah satu capo James.

“Ak.. aku tidak akan memberitahumu,” ucap Diego dengan susah payah.

James tertawa keras. Ia berdiri dan berbalik ke arah pintu keluar, tapi bukan untuk meninggalkan tempat itu melainkan mengambil pemukul bisbol dari balik pintu. James berbalik dan menendang perut pria itu lalu melayangkan pemukul bisbol ke punggung Diego, sehingga membuat pria itu berteriak kesakitan.

“Bagaimana bisa kau setolol ini?! Kau menaruhkan nyawamu untuk pergi ke sarang Asesin dan berpikir tidak akan tertangkap?!” James kembali menendang perut Diego. “Bosmu tidak akan susah payah untuk menolongmu, dan membiarkanmu mati di sini. Bodoh.”

“Aku tidak peduli.”

James sudah muak dengan kesetiaan Diego kepada majikannya, bahkan ketika pria itu berada di ujung kematian. Tapi itu bagus. Setidaknya James tahu jika masih banyak orang-orang yang rela menjual dirinya kepada orang-orang seperti James hanya demi selembar dolar.

James mengeluarkan pistol dari balik jaket hitam yang dikenakannya. Jari telunjuknya menekan pelatuk, lalu beberapa detik kemudian suara peluru yang dimuntahkan memekakkan telinga. Diego Vespucci merenggang nyawanya dengan isi kepala yang berhamburan. Kedua mata pria itu membelak kaget dan mati tanpa memberikan informasi apapun kepada James.

“Urus mayat tidak berguna ini,” kata James sembari memasukkan kembali pistolnya ke balik jaket.

James ingin keluar dari ruangan bawah tanah, kala salah satu capo memanggilnya dan menunjukkan tato berbentuk sayap iblis yang tergambar di pergelangan tangan Diego. Pupil mata James menggelap dan dilingkupi amarah.

Tangannya mengepal saat menyebutkan satu nama. “Arthur de Harold.”

***

Mobil yang dikendarai Diaz berhenti di sebuah rumah mewah kawasan elite kota New York. Rumah itu berwarna cokelat muda dengan halaman luas dan gerbang tinggi yang menjulang. Di bagian sisi rumah terdapat padang rumput, dan beberapa orang berpakaian hitam yang berjaga. Di tengah halaman terdapat air mancur dengan patung berukir dewa Yunani yang mengeluarkan air dari tangannya.

Nadine masih merasa linglung ketika keluar dari mobil. Mengamati kemewahan yang berputar di kelilingnya. Beribu pertanyaan menumpuk di pikirannya, tentang segala hal uang berada di sekitarnya saat ini.

Ia berjalan mengikuti langkah Diaz, dan pintu ganda di depannya terbuka begitu saja saat ia berada di depannya. Puluhan pelayan wanita berpakaian hitam dan putih menunduk ketika Nadine memasuki rumah tersebut. Begitu pula dengan penjaga yang berdiri di beberapa sudut di rumah ini.

Ruang tamu rumah ini luas dan mewah, sehingga membuat Nadine terpana. Seluruh perabotan di rumah ini terlihat berkilauan dengan lampu kristal yang menggantung memantulkan cahayanya. Di dekat tangga kembar, terdapat sebuah piano berwarna putih. Di lengkapi tirai-tirai berbahan sutra yang melindungi cahaya matahari memasuki ruangan ini.

Nadine terdiam terpaku. Ia tidak dapat berkata apa-apa dan mengikuti langkah Diaz seperti orang tolol. Ruang tamu James membuat Nadine membayangkan tentang lantai dansa di film drama kolosal. Riasan rumah khas abad pertengahan ketika sedang mengadakan pesta, serta ratusan bangsawan yang menari waltz di lantai ini.

Nadine dibawa menaiki salah satu sisi tangga kembar. Dua pelayan wanita mengikuti mereka sambil membawa kudapan. Ia tidak sempat mengamati lukisan di sepanjang dinding menuju lantai atas ketika Diaz berhenti di sebuah pintu berukir berwarna cokelat gelap.

“Silahkan masuk, Ms. Lustre.”

Nadine menatap pintu itu dengan bingung dan kembali menatap Diaz saat pria itu mengangguk. Dengan ragu Nadine meraih gagang pintu dan membukanya secara perlahan. Nadine melihat James sedang melakukan push up ketika ia masuk dan diikuti dua orang pelayan wanita tadi.

Nadine tidak mengerti mengapa pelayan itu menundukkan kepalanya dan segera berlalu pergi setelah meletakkan kudapan di atas meja di dekat pintu. Tetapi hal itu juga membuatnya lega karena setidaknya kedua wanita itu tidak akan menikmati pemandangan menggiurkan yang ada di depannya saat ini.

James sedang berolahraga dengan dada yang telanjang sehingga memperlihatkan tato dan bentuk tubuh sempurna milik pria itu. Tubuh pria itu mengkilap karena keringat dan nafas James terdengar seperti alunan yang sangat menenangkan.

Nadine berdehem untuk meminta perhatian pria itu. “Untuk apa kau memintaku ke sini?”

James bangkit. Ia mengambil handuk yang tergantung tidak jauh darinya lalu mengeringkan keringat di tubuhnya menggunakan handuk tersebut. Pria itu juga mengambil segelas air putih yang disodorkan Nadine kepadanya dan menghabiskannya dalam sekali tegukan.

“Aku merindukan dirimu,” ujar James. Pria itu hendak memeluk Nadine tapi wanita itu mendorongnya dan menjauh dari jangkauan James.

“Sialan. Kau berkeringat, James!”

Pria itu terkekeh dan kembali membersihkan tubuhnya dari keringat. “Aku bertaruh kau akan menyukainya ketika kita berada di situasi yang berbeda.”

Nadine tergelak. “Hilangkan pikiran kotor itu dari otakmu, sayang.”

Nadine melipat kedua lengannya di depan dada. Ia berkeliling dan mengamati ruang olahraga James yang berwarna monokrom. Tidak ada yang spesial daro tempat ini selain beberapa alat yang digunakan untuk berolahraga dan pendingin ruangan di langit-langit.

“Jadi siapa sebenarnya dirimu, James?”

“Aku orang yang sama yang kau temui sepuluh tahun yang lalu. Orang yang menyukaimu terlebih dahulu, dan orang yang masih mendambakanmu sampai saat ini.”

Nadine memutar bola matanya malas. “Kau tahu apa yang ku maksud, Reid.”

“Aku pengusaha. Pembeli dan penawar yang cerdas. Aku membeli sesuatu, dan menjualnya dengan harga lebih tinggi.”

“Aku masih tidak mengerti.”

“Aku membeli sesuatu, Nadine. Mengubahnya lalu kembali menjualnya dengan harga tinggi.”

“Jadi kau seorang makelar?”

James tertawa kecil. "Lebih tepatnya seorang pengendali, cara mia. Aku mengendalikan sesuatu sesuai dengan keinginanku."

Chance Where stories live. Discover now