"Jangan Disa," tolak Zeta halus.

"Kak aku benel-benel pengen kakak milikin ini, ini hadiah telakhil mama dan aku mau beli ini ke kakak." pinta Disa.

"Kenapa?" tanya Alta.

"Kakak itu cantik, baik. Tapi aku gak mau nasib kakak kayak mama," ucap Disa lalu pergi di hadapan mereka.

Zeta terus saja menoleh ke arah Disa. Tiba-tiba sekelebat pikiran tentang Disa mulai muncul di kepala Zeta. Zeta seperti melihat Disa yang memakai pakaian putih bersih dan melambaikan tangan ke arahnya.

"Selamat tinggal kak plinsess," ucapan itu selalu terngiang-ngiang di kepal Zeta.

"Disaaaaa!!" teriak Zeta. Alta terkejut melihat reaksi yang Zeta.

Alta menahan Zeta agar tidak mengejar Disa, Zeta menangis. Dadanya sesak melihat kejadian yang seakan nyata di matanya.

"Al lepasin gue. Perasaan gue gak enak." Zeta memohon kepada Alta.

"Enggak! Kita balik!" tolak Alta.

"Al, please ...."

Alta hanya menggelengkan kepalanya, ia menarik kursi Zeta ke ruang rawatnya.

☔️☔️☔️

Beberapa hari kemudian, Zeta mulai masuk sekolah seperti biasa. Keadaannya sudah membaik. Zeta memasuki pekarangan sekolahnya dengan gembira.

"Eh ada nona Zeta, se sudah sembuh toh? Beta minta maaf, Beta tidak sempat menjenguk nona," ujar Gibran dengan fasehnya.

Zeta tersenyum tulus pada Gibran, "Santai aja kali."

"Gue titip ini ya buat Kaysa," pinta Azka sambil menyodorkan paper bag ke arah Zeta. Zeta memberikan senyum devil yang sangat menyebalkan di mata Azka.

"Setannya kumat deh," batin Azka.

"Perjuangan itu butuh pengorbanan bro, sorry sorry aja nih ya berhubung gue baru sembuh jadi tangan gue--"

"I. Know!" seru Azka sambil memutar bola matanya malas, "Nih bocah baru sembuh tambah nyebelin aja," batinnya.

Sampai di kelas dia disambut hangat oleh teman-temannya.

"Zetakuhhhhhh!" pekik Kaysa.

Pletak!

"Aduh Fio, kenapa gue dijitak?!" kesal Kaysa.

"Gak usah lebay, Zeta baru tiga hari gak masuk bukan tiga tahun," sindir Fio. Setelah mengucapkan itu Fio beralih menghampiri Zeta.

"Aaa my bebeb udah cembuh utututu," lanjut Fio yang membuat Kaysa memutar bola matanya malas.

"Ngaca ngapa ngaca!" sindir Kaysa yang sontak mendapat pelototan indah dari Fio. Hari ini adalah jam olahraga untuk kelas Zeta.

"Ta lo kan baru sembuh masa langsung ikut olahraga sih, mana ntar basket lagi," ujar Kaysa

Zeta tersenyum singkat saat menanggapinya. Kebetulan sekali olahraga kelas Zeta dan Dean diadakan pada jam yang sama. Mereka sama-sama melakukan pemanasan per kelas.

"Baiklah anak-anak, kita akan belajar basket. Saya akan membentuk kelompok yang terdiri dari percampuran kelas sebelas dan dua belas," jelas pak Hasyim atau lebih sering dipanggil pak Aka oleh murid-muridnya.

"Yah Pak, sendiri-sendiri aja elah."

"Gak seru ah Pak, masa gabung sama bocil."

"Pak, gue pokoknya kudu sama Sandra titik."

Begitulah suara anak kelas dua belas yang mengeluh pada Pak Aka. "Sudah-sudah, saya akan membagi sesuai nomor absen. Kelas 11 absen 1 sampai 10 dan kelas 12 absen 20- 34." Pak Aka mulai menyebut daftar nomer absen di kelas Zeta.

Pelajaran di mulai, antara jelas 11 dan 12 sama-sama bergilir dengan teratur sesuai barisan untuk mendrible bola.

Ada saja anak kelas 12 yang nakal dan mendrible bola hingga masuk ke ring. Zeta berada di barisan paling belakang tepat di bawah ring hingga ia tidak sengaja terkena bola basket cukup keras.

"ZETA AWAS!" pekik Keyro teman sekelas Zeta.

"AWWW!!" pekik Zeta.

Semua perhatian teralihkan pada Zeta yang saat ini sedang memegangi kepalanya. Dean menghampiri Zeta dan menggendongnya ke Uks.

"Gapapa?" tanya Dean.

"Gapapa gundulmu! Jidat benjol gini masih ditanyain segala," batin Zeta.

Zeta memegang kepalanya sebagai isyarat. Dean membuka kotak p3k, sungguh dia sama sekali tidak mengerti tentang obat-obatan.

Dengan asal Dean mengambil sebotol minyak kaya putih dan mengoleskannya pada jidat Zeta.

Zeta mencium aroma minyak kaya putih dan langsung membuka matanya. Melihat Dean yang telaten mengobatinya.

"Kak lo ngapain ngobatin gue make itu?" protes Zeta. Sedangkan Dean hanya mengangkat bahunya acuh.

"Ih harusnya tuh ya, lo ngobatin gue make betadine kek, revanol kek. Bukan minyak kaya putih," keluh Zeta.

"Siapa tau pusing."

"Kalo pusing, lo obatin di sini ya mana mempan pinter! Harusnya disini kalo gue pusing," Zeta menunjuk bagian kepalanya.

"Serah!" sarkas Dean sembari menyodorkan kotak obat-obatan pada Zeta, lantas melenggang pergi dari sana.

"Untung sayang, eh sabar deng," gerutu Zeta lalu mengoleskan obat pada dahi kirinya yang membiru sedikit.

—To be continue—

Hai maafkan aku buat kalian nunggu.
Bosen gak?

GIZLITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang