Frans meletakkan buku menunya di hadapanku. "Kamu saja yang pilih." Kali ini Frans bersikap seperti merajuk kepadaku. Bukannya ilfil melihat sikapnya yang terlihat kekanak-kanakan, yang ada aku sempat terdiam karena merasa terpesona. Tiba-tiba saja aku merasa Frans menganggapku sebagai poros kehidupannya. Wanita yang betul-betul di inginkannya.

Ck, aku segera sadar dari halusinasiku. Benar-benar penakluk wanita! Hampir saja aku masuk dalam pesonanya untuk kesekian kalinya.

Aku segera terbatuk untuk menetralkan degupan jantungku yang berdetak lebih kencang dari biasanya. "Ya sudah pesan lah semaumu." ucapku akhirnya. Tak ayal membuat Frans tertawa senang, lalu kembali menarik buku menu dari hadapanku.

Tak lama kemudian Frans sudah memesan semua makanan dan minuman yang diinginkannya. Bahkan untuk diriku pun Frans yang memilihkannya. Aku sama sekali tidak keberatan dengan pilihannya.

"Bagaimana semalam setelah kepulanganku?" Begitu pelayan yang mencatat pesanan kami pergi meninggalkan meja kami, Frans langsung menginterogasiku.

Aku mengangkat bahuku acuh, sambil dengan tangan besedekap. "Kacau." Ucapku asal.

Frans mengernyitkan keningnya mendengar jawabanku. "Maksudmu?" Tuntut Frans.

Sesaat aku menghembuskan nafasku pelan, "Aku mencoba memperbaiki hubungan kami menjadi lebih baik lagi."

Frans menatapku penasaran. "Kalian kembali lagi?" Tanyanya tak sabar.

Aku mengelengkan kepalaku, "Aku memutuskannya. Tindakan yang seharusnya kulakukan dulu sebelum pergi meninggalkannya. Hubungan kami selesai. Aku memintanya untuk menganggapku sebagai kakak iparnya." Jelasku singkat, padat, dan jelas.

Mendengar penjelasanku yang kuucapkan dengan cepat membuat Frans terbelalak. "Dia menerima keputusanmu?" Tanyanya penasaran.

"Dia menolaknya. Dia marah sekali kepadaku. Katanya aku selalu mempermainkannya."

Bukannya prihatin, Frans malah tertawa setelah mendengar ucapanku. Tak pelak membuatku memandangnya dengan tatapan aneh.

"Aku salut pria tidak memakimu dengan keras. Kamu telah menyakiti hatinya." Ujar Frans di sela-sela tawanya. Aku heran entah apa  ucapanku yang lucu yang dapat ditangkap Frans.

"Dia mengatakan persis yang seperti kamu katakan. Katanya aku selalu melukainya." Jawabku tak semangat. Otakku kembali mengingatkan tentang tatapan terluka yang ditunjukkan Argenta kepadaku tadi malam. Sungguh, sikapnya tadi malam membuatku dihantui oleh perasaan bersalah. Tapi, mau bagaimana lagi? Lebih baik semua harus diakhiri.

"Jadi, tidak ada harapan lagi untuk kembali kepadanya?" Aku kembali disadarkan saat Frans mengajukan pertanyaannya.

Aku mengangukkan kepalaku cepat. "Kami sudah berakhir." Jawabku tegas.

"Kalau begitu kamu mau membuka hatimu untuk yang lain?"

Aku sedikit bingung dengan pertanyaan yang diajukan Frans, namun tetap saja aku menjawabnya.

"Tentu saja."

"Siapa pun itu kamu akan memberikan dia kesempatan untuk membuka hatimu."

"Ya, siapa pun itu." Jawabku pasti.

"Kalau begitu berikan aku kesempatan untuk membuka hatimu."

Seandainya Frans mengatakan dengan nada bercanda perkatannya barusan, tentu saja aku tidak akan mengambil hati. Namun, kali ini aku melihat Frans mengatakannya dengan serius. Bahkan tatapannya mengunci tatapanku, hingga membuatku tak bisa memalingkan wajah darinya.

Ditatap sedemikian rupa membuat jantungku berdetak dengan kencang. Ini bukan detakan gugup yang kerap kali terjadi bila Frans menggodaku. Kali ini aku merasakan debaran jantungku aneh. Persis seperti yang kurasakan saat bersama Argenta dulu.

Terukir Indah NamamuWhere stories live. Discover now