Bab 4

59.5K 4.7K 35
                                    

Aku terbangun dari tidurku setelah merasakan perutku terasa perih minta di isi makanan. Sepulang dari rumah sakit aku langsung tidur begitu tiba di rumah. Belum sempat utuh kesadaranku, suara ketukan pintu kamarku membuatku segera bangkit dari tempat tidur.

Dengan malas aku membuka pintu kamarku untuk melihat siapa yang mengetuk dari luar. Saat pintu terbuka, aku mendapati bik Sumi yang memandangku dengan panik.

"Ada apa bi?" Tanyaku heran kepada bik Sumi

"Bapak,non..." jawab bik Sumi sambil mencoba menahan air matanya.

Kelakuan bik sumi otomatis membuatku cemas seketika "Iya, kenapa dengan papa?" tanyaku penasaran.

"Bapak tadi kena serangan jantung. Daritadi mas Indra hubungin non Ana tapi katanya gak diangkat, karena itu mas Indra jadinya hubungi ke telepon rumah."

"Jadi gimana sekarang keadaan papa?!" Aku memotong ucapan bik sumi dengan tidak sabar.

"Tadi mas Indra bilang sampai sekarang bapak belum juga sadarkan diri. Terus kata mas Indra bapak sudah dipindahkan ke ruangan ICU. Mas Indra juga pesan biar non Ana datang ke rumah sakit."

Mendengar penjelasan bik Sumi aku segera memeriksa ponselku yang kuletakkan asal di atas tempat tidurku. Di layar tertera panggilan tak terjawab dari mas Indra sebanyak lima belas kali. Aku menyesal telah mengubah dering ponselku menjadi nada getar. Tadi setelah mengirim pesan kepada mas Indra kalau aku sudah sampai di rumah, aku memutuskan untuk tidak ingin diganggu oleh suara ponsel.

Tak menghiraukan perih di perutku aku menyuruh bik Sumi untuk segera menelepon taxi agar aku tidak perlu menunggu lagi.

"Bik, tolong pesanin taxi ke rumah sakit ya,"

Dengan cepat bik sumi berlalu dari hadapanku.

Tanpa berlama lama aku segera mengganti bajuku dengan kaos dan skiny jeans. Rambutku kuikat dengan asal. Tanpa riasan wajah aku segera turun ke bawah. Aku hanya membawa dompet dan ponsel di tangan. Untung saja taxi yang dipesan bik Sumi telah tiba.

Selama di dalam taxi aku merasa jarak dari rumah sampai ke rumah sakit terasa jauh sekali. Berkali kali aku hampir mengumpat ketika taxi yang kutumpangi berhenti di lampu merah.

Begitu sampai di rumah sakit aku segera berlari ke ruang ICU. Untung saja seminggu menjaga papa di rumah sakit, membuatku mengetahui letak ruangannya.

Aku menghentikan langkahku di depan ruang ICU. Mataku tertuju melihat mama menangis dipelukan mas Indra dengan tersedu sedu. Sedangkan mbak Rita beserta anak anaknya tidak terlihat keberadaannya.Dugaanku mereka sudah pulang.

Baik mama maupun mas Indra tidak menyadari kedatanganku. Dengan pelan aku mendekati mereka.

"Mas...."

Mas Indra segera membalikkan badannya, "Kamu sudah datang?" Aku melihat ada kelegaan di wajah mas Indra.

Aku menggangukkan kepalaku, "Maaf, aku datang terlambat," Ucapku lirih penuh penyesalan.

Mendengar suaraku, mama yang berada dalam pelukan mas Indra mengangkat kepalanya untuk dapat melihatku.

Mama memandangku dengan sedih. Seketika itu juga kemarahanku terhadap mama sirna sudah. Tanpa dapat kutahan aku segera menghampiri mama.

"Mama takut...,"

Hatiku sakit mendengar ucapan mama kepadaku dan mas Indra di sela sela tangisannya.

"Mama takut kalau papa pergi meninggalkan kita, seperti Sandra."

Kali ini aku ikut menangis bersama mama. Sama seperti mama, aku juga takut kalau papa kenapa kenapa. Aku menyesal telah melawan papa sore tadi.

Terukir Indah NamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang