Bab 11

48.7K 4.5K 147
                                    

Aku mulai kewalahan saat Josan tak mau menghentikan tangisannya. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kulakukan. Mulai dari mengiming -iminginya jajanan hingga sampai membentaknya. Tapi toh juga Josan tak mau menghentikan tangisannya.

Aku mulai khawatir membayangkan reaksi papa dan mama terhadapku nantinya saat mendapati cucu kesayangan mereka menangis. Aku berharap semoga saja sebelum kami tiba di rumah, Josan telah menghentikan tangisannya. Sayangnya harapanku tak terkabul. Karena begitu kami tiba di rumah aku melihat mama telah menunggu kami di teras. Aku hanya dapat menghembuskan nafas pasrah, membayangkan apa yang akan kuterima nantinya.

Dan tebakanku tak meleset. Mama langsung menanyaiku begitu mendapati Josan yang masih belum berhenti menangis."Ada apa ini? Kenapa Josan, Na? Tanya mama kepadaku dengan raut bingung bercampur khawatir melihat cucunya tersebut yang turun dari mobil dengan sesenggukan. Dengan cepat mama langsung membawa Josan kedalam pelukannya.

Mama melihatku menunggu jawaban, sedangkan aku hanya mengangkat bahu karena bingung harus menjawab apa.

Tak puas dengan sikapku, mama membujuk Josan untuk memberitahu apa yang menyebabkan cucu kesayangannya itu menangis.

"Josan kenapa? Siapa yang buat cucu kesayangan oma begini? Ayo cerita sama oma biar oma marahi siapa yang buat menangis?" Kata mama dengan lembut.

Aku diam saja melihat interaksi mama dengan Josan. Cepat atau lambat Josan akan mengadukan kelakuanku. Jadi aku tinggal menunggu waktunya mama memarahiku.

"Tan...te...A...na marahin Jo..san oma...."akhirnya dengan tersendat-sendat putranya Sandra tersebut menuduhku. Mendengar ucapan Josan mama langsung menatapku dengan marah.

"Apa yang kamu lakukan Ana? Mama nyuruh kamu menjemputnya bukan memarahinya!" Tutur mama dengan penuh kemarahan. "Nyesal mama nyuruh kamu jemput Josan." Aku hanya diam tidak mau menjawab mama. Aku malas mengatakan kejadian sebenarnya. Itu lebih tidak baik lagi. Jadi kubiarkan saja mama dengan dugaannya.

Kupikir setelah mama membawa Josan masuk ke rumah, maka kuanggap kasus ini selesai. Ternyata aku salah. Begitu aku memasuki rumah, mama kembali menyambung kemarahannya.

"Josan itu hanya anak kecil, jadi tidak pantas kamu memarahinya. Jangan mentang-mentang kami semua mendiamkan tingkahmu selama ini, kamu bebas melakukan apapun. Kebencianmu tidak beralasan. Kemarahanmu tidak pada tempatnya. Satu satunya yang perlu kamu lakukan adalah bertanya kepada dirimu sendiri kenapa semua terjadi kepadamu. Bukannya menyalahkan orang lain. Mama rasa kamu perlu instropeksi diri. Kamu bahkan sudah lebih dari cukup dewasa untuk menyadari kesalahanmu. Jadi jangan jadikan orang lain sebagai kambing hitam atas kesalahanmu.Paham kamu!

Kata-kata mama berhasil menyulut emosiku. Bukan hanya telingaku yang panas, hatiku pun ikut panas mendengarnya. Aku tidak terima mama menuduhku seperti itu. Namun belum sempat aku membantah ucapan mama, terlihat papa keluar dari kamarnya. Sepertinya kegaduhan yang kami buat berhasil menggangu istirahat papa.

Papa menatap kami bertiga dengan tatapan bertanya. Kata-kata yang hampir ku keluarkan dari mulutku terpaksa ku telan kembali. Aku tidak mau pertengkaranku dengan mama membuat papa kembali sakit lagi. Pengalaman membuatku berhati hati dalam bertindak di depan papa.

"Ada apa ini,ma? Kenapa sampai ribut ribut segala?" Tanya papa sambil berjalan mendekati kami. Kupikir mama akan menjawab pertanyaan papa, ternyata mama hanya diam saja tanpa mengalihkan tatapan kemarahannya padaku.

Tak mendapat jawaban dari mama, papa beralih bertanya kepadaku. "Ana, ada apa ini?" Kata papa penasaran. Belum sempat aku mengatakan sesuatu, papa terkejut begitu menyadari Josan yang berdiri di belakang mama dengan kondisi masih menangis. "Eh, kenapa Josan? Siapa yang buat dia menangis? Tanya papa kepada kami berdua.

Terukir Indah NamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang