Siluet #33: MEKAR (revisi)

747 59 55
                                    

"Buku aku, aku tulis buat kamu lho."

***

"Kamu kenapa tiba-tiba datang ke kosan waktu itu? Bukannya pagi itu harusnya masih di rumah Bisma ya?" Berusaha menghilangkan jeda yang canggung, kuajukan pertanyaan yang sudah lama tersimpan.

"Sebut saja, semacam firasat. Jadi kuputuskan balik malam itu juga, mungkin waktunya bareng sama kamu."

Mau tak mau, kukulum senyum. Ya, aku ge-er lah, dia sampai segitunya mengkhawatirkan keadaanku.

"Tentang video yang beredar itu, aku lagi cari tahu siapa pelakunya. Maaf ...."

"Ngga perlu, J. Pengacara sudah punya semua bukti. Jika suatu saat terjadi sesuatu yang lebih buruk lagi dari ini, aku sendiri yang akan memberi pelajaran, siapapun yang coba ganggu ketenangan hidupku dan Mami."

Kembali ada jeda yang panjang. Hanya terdengar hiruk pikuk pengunjung kafe yang datang dan pergi.

J cukup cerdas memilih tempat duduk kami yang terhindar dari lalu lalang orang. Tujuanku keluar dari rumah sakit memang untuk mencari ketenangan sejenak, kan.

"Eng ..., aku serius lho, waktu tadi bilang, aku tulus jagain kamu. Aku suka sama kamu."

"Hah? Apa?"

"Mm ... bukan apa-apa. Lupakan."

Aneh, sikapnya jadi serba salah. Ya Tuhan, memangnya apa yang aku harapkan?

"Aku dengar kok."

J makin salah tingkah. Ia menggaruk-garuk tengkuknya yang, pasti, tak gatal. Jika biasanya aku yang kehabisan kata-kata, sekarang J nampak kesulitan mencari jawaban yang tepat. Terlihat dari matanya yang berkedip beberapa kali sementara kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan gelisah. Sungguh pemandangan yang sangat menghibur.

"Kenapa ngga bilang dari dulu?"

"Eh?"

"Kenapa aku malah dikenalin sama Iko?"

"Ya ... itu ... itu kan bagian dari tugasku buat masarin buku dia. Kupikir kamu cuma nge-fans biasa, pengin ketemu idola, minta tanda tangan, foto bareng. Sebenarnya aku mau ngomong pas kita ketemu di Jakarta waktu itu. Buku aku, aku tulis buat kamu lho. Tapi, kamu malah jadian sama Iko."

Ada nada sesal yang kudengar dari kalimat terakhirnya. Ditulis buat aku? Aku menatapnya tak percaya.

J meraih ransel, mengambil sebuah buku, memperlihatkan sampulnya, lalu membuka lembar halaman kedua. Di sana tertulis: UNTUK: Dua orang ANGGORO KASIH-Ku.

Seketika mulutku terbuka yang langsung kututup dengan tangan.

"Aku sudah putus sama Iko."

Entah keberanian dari mana, kukecup pipi J cepat-cepat, sebelum ia sempat menyadari. Tanpa terduga, matanya terbelalak kaget.

Busyet, lebay begitu reaksinya. Apa dia belum pernah dicium pacarnya? Duh, malu aku jadinya.

Apa aku baru saja berharap dia juga sudah putus dengan pacarnya? Itu benar-benar jahat kan?

Tiba-tiba tangan J meraih tanganku dan menggenggam erat.

"Ijinin aku buat jagain kamu terus."

Sekarang aku yang terbelalak.

"Tapi, pacar kamu gimana?"

"Mana? Aku ngga punya pacar."

"Terus, foto di wallpaper kamu itu siapa?"

"Itu Anggi adikku, yang aku ceritain sama kamu."

"Ohh ...," ada jeda yang tak bisa kumaknai dengan jelas. Tapi, melihat J yang berbicara santai, kurasa ia sudah sampai pada tahap, katakanlah, menerima kenyataan atas kepergian adiknya. Tatapannya pun tetap hangat.

Siluet (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang