Siluet #25: Maaf Untuk Dika (revisi)

463 40 42
                                    

"Tuhan, jika yang kurasa ini salah, mengapa sangat indah?"*)

***

"Dingin?"

"He eh."

Aku merapatkan jaket yang tak seberapa tebal. Hanya jaket jeans biasa. Dingin menggigit menusuk kulit.

"Kita cari hotel?" J memainkan alisnya.

Segera kutimpuk dengan botol plastik kosong. Meleset. Sialan! Refleknya selalu bagus. Aku melompat turun dan membuka pintu mobil.

"Ya, kalau kamu maunya 'main' di mobil aja ngga papa, sih ...," cowok tengil itu tak kapok menggoda walaupun tak kupedulikan.

J segera menyusul setelah mengemasi ransel dan gitar.

Di dalam mobil ini terasa lebih hangat. Seluruh kaca jendela sudah tertutup dan hanya menyisakan sedikit celah udara.

Pukul satu dini hari. Mobil-mobil lain sudah mulai meninggalkan tempat ini satu persatu. Kembali ke rumahnya masing-masing atau meneruskan keseruan malam tahun baru di tempat lain. Beberapa orang masih bertahan seperti aku dan J.

'Aku masih pengin di sini, bersama J,' keluhku dalam hati.

Iseng kulongokkan kepala ke kursi belakang tempat J menyimpan berbagai benda keperluan miliknya.

Terdapat satu tas besar yang sepertinya untuk menyimpan pakaian, ransel berisi aneka rupa keperluan cowok dan tadi ada makanan juga ternyata. Ada juga gitar, laptop, kertas dan buku-buku, serta bantal. Komplit banget. Semua kebutuhan primer anak kos ada di sini kecuali kotak tissue. Ini sih lebih mirip rumah berjalan buat dia.

Aku merangkak ke belakang berusaha meraih bantal.

"Oh, kamu mau kita 'main' di belakang aja? Aku beresin dulu ya, biar lebih nyaman lagi ... arghhh ...!"

Kutinju bahunya dengan keras. Astagaa ...! Benar-benar cari mati ini orang!

Mulutmu harimaumu, Bung! Mau 'main' kan dia? Biar kutunjukkan caranya 'bermain' denganku.

Kubenam kuat-kuat kepalanya dengan bantal yang berhasil kuraih. Biar saja dia kehabisan napas!

"Kamu mau 'main' kan? Begini nih caranya 'main'!"

Kutekan bantal semakin keras tepat di atas kepalanya. Kutindih lagi dengan badanku yang tak seberapa berat. J pasti tak bisa bernapas sekarang. Rasakan!

Tangan J menggapai-gapai menjambak rambutku, berusaha melepaskan diri dari serangan.

Awh!

Merasa sakit dengan tarikan pada rambut, kulepaskan juga bantal itu.

J tertawa terbahak-bahak merasa menang melihatku merah padam. Ia sampai terbatuk-batuk kehabisan napas. Mukanya tak kalah merah.

Setelah menenggak sisa air mineral dalam botol terakhir, ia merapikan rambut lalu mengikat asal di puncak belakang kepala.

Dasar tengil, emang!

Aku kembali ke tempat duduk, meringkuk memeluk bantal menahan dingin. Kutatap lagi wajah di depanku.

Tuhan, jika yang kurasa ini salah, mengapa sangat indah?

J berbalik menatapku.

"Ehm, emm ..., kirain aku, kamu masih di Jakarta lho," aku mendehem.

"Tadi siang baru aja nyampe pas dapet pesan dari kamu, trus langsung cabut. Ya kali, orang-orang tahun baruan aku masih kerja aja."

"Oh ...," aku memikirkan sesuatu, "menurut kamu, Iko itu gimana sih, orangnya?"

Siluet (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang